Minggu, 06 November 2011

Kisah haji mabrur tanpa berhaji


Sa'id Ibnu Muhafah, Tukang Sol sepatu yang mendapatkan pahala haji
mabrur, padahal ia tidak haji.

Suatu ketika Hasan Al-Basyri menunaikan ibadah haji. Ketika beliau
sedang istirahat, beliau bermimpi. Dalam mimpinya beliau melihat dua
Malaikat sedang membicarakan sesuatu.
"Rasanya orang yang menunaikan haji tahun ini, banyak sekali",
komentar salah satu Malaikat.
"Betul" Jawab yang lainya
"Berapa kira - kira jumlah keseluruhan?"
"Tujuh ratus ribu"
"Pantas"
"Eh, kamu tahu nggak, dari jumlah tersebut berapa kira - kira yang
mabrur", selidik Malaikat yang mengetahui jumlah orang - orang haji
tahun itu.
"Wah, itu sih urusan Allah"
"Dari jumlah itu, tak satupun yang mendapatkan haji Mabrur"
"Kenapa?"
"Macam - macam, ada yang karena riyak, ada yang tetangganya lebih
memerlukan uang tapi tidak dibantu dan dia malah haji, ada yang
hajinya sudah berkali - kali, sementara masih banyak orang yang tidak
mampu, dan berbagai sebab lainya".
"Terus?"
"Tapi masih ada, orang yang mendapatkan Pahala haji mabrur, tahun ini"
"Lho katanya tidak ada"
"Ya, karena orangnya tidak naik haji"
"Kok bisa"
"Begitulah"
"Siapa orang tersebut?"
"Sa'id bin Muhafah, tukang sol sepatu di kota Damsyiq"
Mendengar ucapan itu, Hasan Al-Basyri langsung terbangun. Sepulang
dari Makkah, ia tidak langsung ke Mesir, tapi langsung menuju kota
Damsyiq ( Siria ). Sesampai disana ia langsung mencari tukang sol
sepatu yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol
sepatu ditanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namanya Sa'id
bin Muhafah. "Ada, ditepi kota" Jawab salah seorang sol sepatu
sambil menunjukkan arahnya. Sesampai disana Hasan Al-Basyri
menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh, "Benarkah anda bernama
Sa'id bin Muhafah?" tanya Hasan Al-Basyri. "Betul, kenapa?"
Sejenak Hasan Al-Basyri kebingungan, dari mana ia memulai
pertanyaanya, akhirnya iapun menceritakan perihal mimpinya. "Sekarang
saya tanya, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda
berhak mendapatkan pahala haji mabrur, barang kali mimpi itu benar"
selidik Hasan Al-Basyri sambil mengakhiri ceritanya.
"Saya sendiri tidak tahu, yang pasti sejak puluhan tahun yang lalu saya
memang sangat rindu Makkah, untuk menunaikan ibadah haji. Mulai saat itu
setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai
tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Dan pada tahun ini
biaya
itu sebenarnya telah terkumpul"
"Tapi anda tidak berangkat haji"
"Benar"
"Kenapa?"
"Waktu saya hendak berangkat ternyata istri saya hamil, dan saat itu
dia ngidam berat" "Terus?"
"Ngidamnya aneh, saya disuruh membelikan daging yang dia cium, saya
cari sumberdaging itu, ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh,
disitu ada seorang janda dan enam anaknya. Saya bilang padanya bahwa
istri saya ingin daging yang ia masak, meskipun secuil. Ia bilang
tidak boleh, hingga saya bilang bahwa dijual berapapun akan saya
beli, dia tetap mengelak. akhirnya saya tanya kenapa?..
"Daging ini halal intuk kami dan haram untuk tuan" katanya.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Karena daging ini adalah bangkai keledai, bagi kami daging ini adalah
halal, karena andai kami tak memakanya tentulah kami akan mati
kelaparan," Jawabnya sambil menahan air mata.
Mendengar ucapan tersebut sepontan saya menangis, lalu saya pulang,
saya ceritakan kejadian itu pada istriku, diapun menangis, akhirnya
uang bekal hajiku kuberikan semuanya untuk dia".
Mendengar cerita tersebut Hasan Al-Basyripun tak bisa menahan air
mata."Kalau begitu engkau memang patut mendapatkanya" Ucapnya.
Wallahu a'lam.

Kisah ini diceritakan oleh Imam dan Khotib Masjid Rohmah, Cairo Egypt.
Shahih tidaknya tidak disebutkan. Meski demikian kisah ini dapat
menjadi renungan.

Selasa, 01 November 2011


JIHAD YES, TEROR NO.

Di dalam tarikh Islam,Jihad mulai disyariatkan pasca  Hijrahnya Roasulullah dan para sahabatnya ke Madinah.(Hasyiyah  Bajuri juz 2,halaman261).Dalam kurun 23 tahun Rosulullah dan para pengikut beliau  berada di Makkah  banyak  menerima penyiksaan,pelecehan, dan tindakan yang tidak manusiawi lainnya.Bahkan Nabi sempat akan dibunuh oleh kelompok kafir Quraisy.Meski mendapat perlakuan yang sedemikian hinanya,Allah SWT tidak memperbolehan Rosululullah dan para sahabatnya melakukan perlawanan. Dakwah Rosulullah tetap dilakukan dengan secara sirri ( rahasia ) dari mulut ke mulut,dari satu keluarga ke keluarga yang lain,namun karena ajaran Islam adalah adalah agama yang relevan dengan fitrah manusia dan didukung oleh akhlak Nabi yang mulia dan punya perhatian besar terhadap ketidak adilan terutama untuk kalangan mustadl`afin ( orang yang lemah-tertindas )  seperti pengembala,budak,pedagang kecil,dll,Islam sangat cepat diterima dan menyebar ke masyarakat  Quraisy. Perkembangan Islam dari waktu-ke waktu semakin pengalami perkembangfan yang pesat. Pada masa inilah  para pemimpin kafir Quraisy mulai khawatir terhadap perkembanagn Islam yang dibawah oleh Muhammad Rosulullah. Dari sinilah kemudian bangsawan quraisy melihat  risalah muhammad mempunyai nilai revolusi yang sangat besar yang dengan sendirinya akan membahayakan kekuasaan mereka baik secara teologis,politis maupun ekonomis apabilah tidak segera disingkirkan melalui penganiayaan,pengusiran,bahkan pembunuhan.Sekali lagi dalam kondisi yang sangat kritis seperti itu Allah tetetap tidak memperbolehakan jihad dalam arti perang melawan mereka dengan menggunakan senjata.Baru setelah Nabi dan para sahabat hijrah, jihad kemudian diperbolehkan. Itupun hanya untuk  mempertahan diri (defensif) bukan untuk menyerang ( ofensif ).
Perang badar  terjadi ( sebagai perang pertama) disebabkan serangan tentara  kafir mekkah. Mereka tidak mau melihat  kekuatan Muhammad  mampu bersatu dengan kuat karena akan menjadi ancaman di kemudian hari bagi mereka. Keadaan sejarah paling genting di masa Rosulullah adalah perang khondak ketika  Nabi dan para sahabtnya dikepung dari segala penjuru oleh para pengkhianat Madinah setelah adanya perjanjian bersama ( Mistaq Al Madinah ).Kekuatan sama sekali tidak berimbang. Tentara Muslim yang berjumlah 3000 Orang melawan  10.000 pasukan Kafir .Hnaya dengan pertolongan Allahlah peperangan tersebut dapat dimenangkan oleh Nabi dan Para sahabatnya. Yang hebat dari sifat Rosul dalam hal ini adalah meskipun banyak dikhianati oleh mereka para Kafir  yang ada di madinah Rosulullah tidak membuat beliau balas dendam  dan penyakit hati lainnya yang menacap pada diri Rosulullah dan para shabatnya. Hal ini terbukti ketika  Rosulullah dan para sahabatnya  melakkan upaya pembebasan Kota Makkah ( fathu Makkah )  dari hegemoni dan kekuasaan para penentang Agama Islam. Fathu Mkkah ini menjadi tonggak sejarah yang amat penting bagi Islam dalam menegakkan keadilan,mengankat martabat kaum lemah dengan penuh perdamaian,,persaudaraan,kerukunan dan kerjasama bagiseluruh umat Manusia.
Tidak setetes darahpun mengalir dalam sejarah  Fathu Makkah  ini. Tidak ada paksaan sedikitpun untuk memeluk agama Islam bahkan Allah dengan tegas mengatakan ” La ikraha Fiddin”  (tidak ada paksaan  dalam agama). Kelompok diluar Islam dijamin kebebasannya dalam menjalakan aktifitas keberagamaanya. Sebagaimana yang tersirat dalam surat Al fath 1-3,Orang Islam yang dengan akhlak mulia dan keramahannya membuat orang diluar Islam berbondong-bondong memeluk Islam sebagai agama terakhirnya.
Dari uraian singkat sejarah tersebut kita bisa memahami bahwa Islam yang ada pada zaman Rasulullah SAW tidak memandang jihad sebagai aksi teror,membunuh,mengebom berikut sederet pengertian negatif lainnya yang melekat pada kata”jihad”. Jihad dalam Islam hanyalah merupakan wasilah (instrumen) dan sarana yang sangat efektif dalam mebumikan nilai-nilai universal Islam di tengah kehidupan manusia  seperti penegakan keadilan,kesetaraan,kemerdekaan,keselamatan,kemakmuran di muka bumi ini,bukan dengan melakukan aksi yang membuat orang lain bersedih,cemas,khawatir apalagi mengalirkan darah sesama manusia. Pengertian ini justru jauh dari spirit jihad dan Islam autentik sebagaimana yang dipraktikkan pada zaman Nabi SAW.
 Realitas historis di atas  sudah semestinya kita jadikan acuan moral untuk salalu bertindak  dalam menyikapi perkembangan kontemporer saat ini dimana isu terorisme dan radikalisme telah  seakan jadi ”kecambah” yang tumbuh sangat subur dan begitu mudahnya muncul di bumi ini dengan bendera jihad,seakan agama menyeru pada tindakan kekerasan  dan tidak punya rasa kemanusiaan sedikitpun terhadap yang lain. Paradigma minor ini selalu menjadi momok setiap saat  lebih-lebih bila ada kekuatan politis yang dengan sengaja menyulut  sentimen keagamaan-ideologis.
Aragonsi dan kesombongan AS dan antek-anteknya  juga termasuk  bagian dari faktor munculnya radikalisme agama. Seperti ketika melakukan agresi pembunuhan massal yang tidak manusiawi atas anama demokrasi di negara –negara Islam, pembumi hangusan etnis di Bosnia dan Palestina umpanya  telah menyulut api emosi balas dendam dari sebagian kaum Muslimin sehingga menjadi momentum dan konteks  aktualitasnya dalam berjihad. Dan kalau ini dibiarkan  maka di dunia ini tidak akan ada tentramnya. Inilah yang harus dicegah sedini mungkin. Hal ini bisa dilakukan di internal umat Islam sendiri melaui pemahaman yang utuh tentang jihad yang proporsional  di satu pihak,dan menciptakan keadilan dan demokrasi yang sesungguhnya di muka bumi khususnya bagi mereka negara yang  merasa dirinya menjadi Polisi dunia seperti AS dan antek-anteknya di pihak yang lain.
Dunia tidak akan pernah damai jika masih ada sosok ideolog seperti Osama Bin laden berikut anak ideologisnya yang mewariskan pemi kiran  balas dendam dengan  label jihad  terhadap kelompok yang  dianggap menghancurkan umat islam. Begitu juga dunia tidak akan tentram jika masih ada sosok ”penghisap darah” seperti  George W.Buss yang agresor dan pembantai etnis yang diwarisi oleh para anteknya demi kepentingan politis dan ekonomi yang mengatasnamakan demorasi dan hak asasi manusia.

Sabtu, 22 Oktober 2011

PANCASILA DAN NKRI DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA


Sejak awal kelahirannya, Pancasila dimaksudkan  sebagai dasar negara yang mampu  mengikat semua elemen  bangsa  yang terdiri dari berbagai macam unsur budaya, etnis dan agama untuk mendirikan suatu negara persatuan dan kesatuan  yang bedaulat.  Dalam perjalanannya sebagai dasar negara,  Pancasila  ternyata mengundang banyak perdebatan berkepanjangan bahkan sampai menimbulkan  pemberontakan  secara  fisik yang tentu saja  memakan korban yang tidak bisa dikatakan sedikit.
Sebagai bagian dari mayoritas komponen Bangsa, umat Islam pernah mengusulkan  Indonesia menjadi negara Islam di Majlelis  Konstituante. Sebagai  orang yang merepresentasikan  kelompok Islam di dalam sidang tersebut, Natsir mengatakan, “dasar negara haruslah sesuatu yang sudah mengakar di masyarakat.” Relitas sejarah, menurut Natsir, membuktikan bahwa Islam sebagai agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia cukup mengakar di masyarakat. Islam, terangnya, mempunyai sumber yang  jelas  yang berasal dari wahyu. Tidak seperti Pancasila  yang mempunyai banyak tafsiran,  tergantung pada pandangan filosofi seseorang. (Artawijaya,2007:28)
Senada dengan Natsir,Buya Hamka yang juga ikut dalam sidang konstituante  mengatakan ” Islam  adalah dasar yang asli  di tanah air kita.” Ia juga menambahkan   “ Pancasila  tidak mempunyai dasar di negara kita , dan orang – orang yang mengkhianati  ruh nenek moyang  pemimpin terdahulu adalah orang yang  menukar perjuangan mereka  ( para pahlawan ) dengan Pancasila. (Artawijaya,2007:28)
Tokoh lain yang juga sebagai pendukung paradigma ini adalah Sekarmaji Marijan Karto Suwiryo. Ia adalah Tokoh Kharismatik yang mendirikan Organisasi Darul Islam/Tentara Islam indonesia (DI/ TII ). Organisasi DI / TII dilahirkan pada tanggal 7 agustus 1948 di Malang Bong Jawa Barat. Eksistensi lahirnya DI/TII dipicu oleh antara pemerintah Indonesia dengan belanda pada perjanjian Renville, 8 Januari 1948. Oleh kelompok Karto Suwiryo, perjanjian renville dinilai merugikan bagi bangsa Indonesia.. Akhirnya kelompok Karto suwiryo memisahkan diri dari Indonesia  dan terus berjuang melawan Belanda .
Alasan Karto Suwiryo memisahkan diri dari Indonesia karena dia menilai, bahwa  Pemerintah Indonesia telah berkompromi dengan Belanda yang dinilai Kafir (Secular). Lebih dari itu kekecewaan Karto Suwiyo terhadap Pemerintah Indonesia juga dipicu oleh kekalahan Umat Islam saat merumuskan dasar negara Indonesia dalam bentuk Pancasila. Dalam pandangan Karto Suwiryo, Pancasila dianggap sebagai dasar negara yang sekuler dan tidak berdasarkan pada prinsip Syariah Islam. Kelompok Pemerintah Indonesia dinilai Karto Suwiryo juga sebagai Pemerintah yang sekular. Sementara Karto Suwiryo mempunyai anggapan bahwa Pemerintah Indonesia harus berdasarkan Syari`ah Islam. (Rubaidi,2007:121)
Tujuan  akhir dari visi Karto Suwiyo  adalah  terbentuknya  Negara Islam Indonesia( NII ). Ia bermaksud menjadikan Islam sebagai  ideologi dan Agama resmi negara, dengan memproklamirkan  berdirinya Negara Islam Indonesia ( NII ).  Pada akhirnya, sejarah Indonesia telah mencatat  dan menempatkan  Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI / TII) sebagai organisasi yang  terlarang dan dibubarkan oleh Pemerintahan Sukarno. (Zudi Setiawan,2007:10)
Perjuangan untuk menjadikan Syariat Islam sebagai dasar negara  mengalami  kefakuman ketika Orde baru berkuasa  selama 32 tahun.  Karena dalam periode ini  kekuasaan  secara  represif  selalu menekan setiap aspirasi yang berkembang di Masyarakat, sehingga untuk  menyatakan pendapat secara bebas sulit terwujud. Setelah kekuasaan Orde baru berhenti pada tahun 1998, kondisi perpolitikan di tanah air mulai berubah. Munculnya Orde reformasi  telah menjadi  awal dimulainya  upaya demokratisasi  di Indonesia. Orde Reformasi ini diyakini  akan membawa harapan baru dan menghasilkan perubahan yang lebih baik dibandingkan dengan  Orde sebelumnya .
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang kemudian memunculkan era reformasi itu juga telah membawa perubahan bagi perkembangan politik,tak terkecuali politik Islam di Indonesia. Proses perubahan yang diiringi dengan  adanya kebebasan berpolitik bagi semua pihak telah memberikan  peluang bagi gerakan  Islam formalistik  untuk  bangkit dan  menjalankan  misinya untuk menegakkan Syariat Islam sebagai dasar negara di Indonesia. Bukti yang menunjukkan terjadinya kebangkitan Politik Islam dan tumbuhnya kembali  gagasan tentang  formalisasi syariat Islam di Indonesia  pada era  reformasi  setidaknya dapat dilihat dari empat indikator, yaitu :
( Indikator pertama ) Munculnya Ormas Islam lengkap dengan masanya, seperti Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI ).HTI memandang bahwa “ Al din Wal Daulah ( Agama dan kekuasaan ) adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.Oleh karena itu tujuan HTI  adalah kehadiran Masyarakat  yang diatur oleh hukum Islam dan dipimpin oleh sistem khilafah  Internasional. Di samping HTI juga ada Majlis Mujahidin Indonesia ( MMI ), Front Pembela Islam ( FPI ), dan lain sebagainya. Mereka pada umumnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu penerapan Syariat Islam sebagai hukum positif di Indonesia. Selain dari para tokoh Islam yang mempunyai pandangan tentang Pancasila yang menurut mereka tidak sesuai dengan Islam di masa lalu, Pendapat yang ekstrim tentang Pancasila di masa kini juga disampaikan Oleh oleh Rosyid Ridho Ba'asyir “(Eks Pengajar di Ma'had Aly Tahfidz Al Quran Isy Karima Karanganyar Jawa Tengah dan Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo Jawa Tengah) ia mengatakan :
Pancasila adalah patung (timtsal). Namun karena patung tersebut dijadikan simbul kekufuran berupa sistem kenegaraan yang bertentangan dengan Islam pada prinsip-prinsipnya, maka ia menjadi berhala(sesembahan selain Alloh Swt) yang sering diistilahkan didalam syar’i dengan “al-watsan. Begitupula bendera, jika bendera itu adalah lambang dan simbul kekufuran; maka ia adalah al-watsan, hingga haram bagi seorang muslim untuk menghormatinya serta mengagungkanya dengan kerelaan hati. (http://www.muslimdaily.net)diakses,17 Maret 2009


 ( indikator ke dua)  Bedirinya partai politik – partai politik baru yang mencamtumkan Islam sebagai asasnya. Pada masa Orde baru, pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi kekuatan sosial dan  politik di Indonesia. Pada era reformasi, telah terjadi liberalisasi politik, sehingga cukup banyak partai politik yang baru berdiri tidak mencantumkan  Pancasila sebagai asasnya, justru yang dicantumkan  sebagai asas partai adalah  Islam .
Partai Persatuan Pembanagunan ( PPP )  yang pada masa Orde baru berasakan pancasila, pada  orde reformasi telah melakukan  perubahan  dengan mencamtumkan  Islam sebagai asasnya .
( indikator ke tiga ) Adanya tuntutan pemberlakuan  Piagam Jakarta dalam Konstitusi oleh Partai Persatuan Pembangunan ( PPP )  pada saat berlangsungya  sidang Istimewa  MPR tahun 1998. Gagasan ini juga  mengemuka  kembali  pada tahun 2001 bersamaan dengan Partai Bulan Bintang yang juga mengusulkan kembali  Piagam Jakarta. Piagam Jakarta merupakan  bagian penting dari tuntutan formalisasi syariah Islam, karena ia memberikan  pijakan konstitusi  ..                     
   (indikator ke empat ) Munculnya gerakan  penegakan  Syariat Islam di Daerah.Gerakan pemberlakuan syariat Islam tersebut juga  mengarah kepada  upaya  pemberlakuan syariat Islam secara formal  sebagai hukum positif  dalam bentuk  Peratuaran Daerah (Perda).
Keempat indikator  tersebut telah menunjukkan  bahwa telah terjadi fenomena  kebangkitan agama (Islam) secara formal  maupun simbolik  di dalam perpolitkan  nasional. Fenomena kebangkitan Islam tersebut merupakan respon muslim tehadap sekularisasi barat  dan dominasi  terhadap dunia Islam, disamping respon terhadap krisis kepemimpinan  dikalangan umat Islam sendiri. Dalam konteks Indonesia, krisis yang melahirakan rasa frustasi dan rasa ketertindasan menampakkan wujudnya dalam bentuk  sejumlah besar penyalah gunaan  oleh kaum elite yang menyebabkan maraknya korupsi, lemahnya penegakan hukum dan ketimpangan ekonomi. Pada tingkat masyarakat, krisis tersebut berbentuk meningkatnya kriminalitas, pudarnya solidaritas serta merajalelanya tindakan kemaksiatan. Hal ini menyebabkan merosotnya legitimasi sistem politik  dan hukum yang  berbasis sekular. Maka muncullah  keinginan untuk kembali kepada nilai – nilai  dan sistem yang berbasis Islam . ( Rahmat,2002:2)
Kontroversi usaha  penerapan syariah Islam dalam konstitusi menyeret  pada kecenderungan untuk mempertentangkan antara ajaran Islam dengan Pancasila. Kontroversi diatas telah membentuk polarisasi yang dipandang  sebagai hal yang bisa mengancam keutuhan dan  persatuan  NKRI .Hal ini mengingatkan kita  pada ultimatum Pendeta Oktavianus yang  mengancam, Indonesia Wilayah timur yang sebagai komunitas yang mayoritas beragama kristen  akan memisahkan diri dari Republik ini jika  Piagam Jakarta dimasukkan menjadi bagian dari konstitusi Indonesia. 
Di tengah gencarnya arus pemikiran dan perjuangn tentang perlunya Syariat Islam sebagai dasar negara, ada beberapa Ormas keagamaan yang cukup besar justru tidak mendukung, bahkan menolak Syariat Islam sebagai dasar negara.. Salah satu diantara ormas Islam yang menolak  itu  adalah  Nahdlatul Ulama. Sebagai bagian dari komunitas Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama  tidak termasuk organisasi yang mendukung gagasan tentang formalisai syariat  Islam. NU sebagai Jam`iyah justru menolak gagasan tersebut. NU sejak dulu hingga sekarang tidak menginginkan berdirinya negara Islam  di Indonesia.
 Sebagaimana yang diutarakan oleh KH.Musthofa Bishri yang mengutip dari LSI, NU mempunyai anggota  sekitar enam puluh juta orang. Sebagai  sebuah Organisai  sosial  keagamaan  yang mempunyai jutaan anggota, ratusan kiyai, ribuan Pesantren dan Santri yang juga sangat  kental dengan urusan – urusan keagamaan, sebenarnya NU mempunyai daya kekuatan penekan yang cukup signifikan  untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam di Indonesia atau  syariah sebagai hukum Positif di Indonesia. Namun hal itu tidak dilakukan Oleh NU.
Penulisan skripsi ini bukan bertujuan membuat dikhotomi dikalangan internal umat  Islam, tetapi sebagai upaya penulis untuk memperjelas adanya perbedaan cita-cita dan karakter  antara NU sebagai perwujudan golongan tradisional yang memegang teguh nilai-nilai keagamaanya, karena Sesungguhnya Nahdlatul Ulama mempunyai pandangan tersendiri tentang Syariah Islam, NKRI sebagai sistem kenegaraan, dan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia 
  1. RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa Moh. Natsir berpendapat bahwa dasar negara Indonesia haruslah Islam sebagai sesuatu yang mengakar di tengah masyarakat, kemudian Hamka juga berpendapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang sekular dan tidak punya dasar di Indonesia, begitu juga Karto Suwiryo yang memandang bahwa Pancasila dianggap sebagai dasar negara yang sekular dan tidak berdasarkan Islam sehingga ia memperjuangkan berdirinya negara Islam dengan DI/TII nya,bahkan di era reformasi ini ada yang berpendapat bahwa Pancasila merupakan Patung (timstal) yang merupakan simbol kekufuran dan bertentangan dengan Islam, di tambah lagi dengan HTI yang memperjuangkan sistem khilafah Islamiyah Internasional dan munculnya ormas-ormas yang berupaya mengembalikan piagam jakarta sebagai bagian dari konstitusi Indonesia.
Bedasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas Supaya lebih terarah dan berfokus pada masalah yang dikehendaki, maka perlu adanya rumusan masalah yang tertuang dalam bentuk pertanyaan,  yaitu :
1.      Bagaimana paradigma NU tentang hubungan Islam dan negara. ?
2.      Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila dan NKRI ?

B.     TUJUAN PENELITIAN

    1. Untuk mengetahui Paradigma Nahdlatul Ulama tentang hubungan antara Islam dan Negara
    2. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama  terhadap Pancasila  dan NKRI
  1. KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
Sebagaimana lazimnya suatu penelitian atau karya ilmiah yang tentu saja memiliki kegunaan sendiri-sendiri, maka penelitian ini diharapkan dapat berguna, antara lain :
    1. Secara teoritis, kajian ini diharapkan  untuk memperluas khazanah tentang Pandangan NU terhadap NKRI dan Pancasila. 
    2. Secara praktis, Kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para para peneliti selanjutnya  untuk  membahas kajian serupa  lebih lanjut.

   E.  DEFINISI ISTILAH
Untuk mempermudah pemahaman dalam penulisan ini, maka berikut ini dipaparkan beberapa istilah yang terkait, sebagai berikut :
   1.  Pancasila adalah : Dasar negara Repeblik Indonesia yang terdiri dari lima    sila yaitu :
   1.            Ketuhanan Yang Maha Esa
2.   Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.   Persatuan Indonesia
4.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawartan     perwakilan
5.   Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
2. NKRI adalah : Negara Kesatuan Republik Indonesia  yang lahir pada tanggal     17  Agustus 1945.
   3. Nahdlatul Ulama  adalah : Oraganisasi kemasyarakatan yang didirikan oleh para Ulama  pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.
F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
         Untuk memperoleh gambaran umum mengenai apa yang dibahas, skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I:  Merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan     masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, definisi istilah  dan sistematika pembahasan.
  Bab II : Yaitu kerangka pemikiran dan tinjauan teori yang menguraikan tentang tinjauan tentang negara meliputi pengertian negara, dan NKRI sebagai sistem kenegaraan juga menguraikan tentang tinjauan tentang Pancasila yang menjelaskan tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, proses perumusan Pancasila, juga menguraikan tentang tinjauan tentang Nahdlatul Ulama yang dijelaskan dalam latar belakang lahirnya Nahdlatul Ulama,peranan Ulamadalam organisasi Nahdlatul Ulama, perangkat organisasai,tingkat kepengurusan dan basis massa NU.
 Bab III : Metode penelitihan ,Sumber data,metode pengumpulan data dan Metode analisa
 BabIV :Pembahasan tentang hasil penelitihan yang menguraikan tentang paradigma NU tentang hubungan   agama dan negara, juga Pancasila dan NKRI dalam pandangan NU.Analisa Pancasila dan NKRI dalam pandangan Nahdlatul Ulama
 Bab V  : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran















BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A . KAJIAN TENTANG NEGARA
      1. Pengertian  negara
Secara historis pengertian negara senantiasa berkembang  sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu. Pada Zaman Yunani kuno para ahli filsafat  negara merumuskan pengertian negara secara beragam. Aristoteles  yang hidup pada tahun 384-322 S.M, merumuskan  negara  yang disebutnya sebagai polis, yang pada saat itu dipahami negara masih dalam  suatu wilayah nyang kecil. Dalam pengertian itu negara  disebut sebagai hukum, yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut dalam permusyawaratan.( Acclesia ). Oleh karena itu menurut aristoteles keadilan merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya  negara yang baik, demi terwujudnya  cita –cita seluruh warganya.  
Pengertian lain tentang negara  dikemukakan oleh filsuf lain seperti Thomas Hobbes(1588-1679), Jhon locke ( 1632 – 1704) dan Rousseau ( 1712-1778). Mereka mengartikan negara sebagai suatu badan atau organisasi hasil dari perjanjian masyarakat secra bersama. Menurut mereka, manusia sejak dilahirkan telah membawa hak-hak asasinya  seperti hak untuk hidup, hak milik, serta hak kemerdekaan. Dalam keadaan ilmiah sebelum terbentuknya negara, hak-hak tersebut belum ada yang menjamin perlindungannya, sehingga dalam sattus naturalis, yaitu sebelum terbentuknya negara hak-hak itu dapat dilanggar. Konsekuensianya dalam kehidupan alamiah tersebut terjadilah perbenturan kepentingan berkaitan dengan hak-hak masyarakat tersebut. Dalam keadaan naturalis sebelum terbentuknya negara menurut Hobbes  akan terjadi Homo homoni lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi manusia lain, dan akan timbul suatu perang semesta yang disebut  sebagai belum omnium contre omnes  dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba.
Pengertian lain tentang negara juga dikemukakan oleh Harold J.Lasky, ia mengemukakan bahwa negara adalah merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang  yang bersifat memaksa   dan yang secara sah lebih agung  dari pada  individu atau kelompok.yang merupakan bagian masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup bekerja sama untuk tercapainya suatu tujuan bersama. Sementara itu  Miriam budiarjo  mengemukakan bahwa negara adalah  suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut  dari warga negaranya  ketaatan pada peraturan  perundang undangannya melalui penguasaan (kontrol) monoplistis dari kekuasaan yang sah.( Kailani,2007:77)
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para filsuf serta para sarjana tentang  negara, maka dapat disimpulkan bahwa semua negara  memiliki unsur–unsur yang  yang mutlak harus ada. Unsur-unsur negara meliputi :Wilayah atau daerah teritorial yang sah, rakyat yaitu suatu bangsa sebagai pendukung pokok negara dan tidak terbatas hanya pada salah satu etnis saja, serta pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat. 
B.  NKRI SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN
Sejak Prolamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia  mengidealkan  bentuk negara kesatuan. Hal ini bisa ditelusuri dalam sejarah pergerakan sebelum kemerdekaan.Pada waktu itu salah satu tokoh yang pernah menginginkan bentuk bentuk negara federal apabila Indonesia merdeka di kemudian hari, adalah Drs.H.Muhammad Hatta. Beliau berpendapat untuk bangsa Indonesia yang sangat majemuk, lebih tepat bentuk negaranya adalah federal dan bukan negara kesatuan. Pendirian itu  belaiu kemukakan sejak ia mudanya ketika belajar di Roterdam, belanda pada tahun 1930 - an  sampai  awal tahun 1945. Pendirian Bung Hatta kemudian berubah setelah  beliau banyak berdiskusi dengan para tokoh pergerakan  tentang sistem kenegaraan.[1]
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila dalam sidang  BPUPKI, Bung Hata tidak lagi memperjuankan bentuk negara federal. Bung Hata yakin, bahwa negara kesatuan  yang hendak dibangun, sudah dengan sendirinya  juga mencakup pembangunan  daerah – daerah  atas dasar prinsip desentralisasi .
Bentuk negara kesatuan adalah bentuk negara yang terdiri satu negara saja.  Betapapun besar maupun kecil, ke dalam maupun keluar merupakan kesatuan .Pembagian wewenang dalam negara kesatuan  pada garis besarnya telah ditentukan oleh pembuat undang – undang di pusat, serta wewenang secara terperinci  terdapat pada propinsi ,residu powernya ada pada pemerintahan pusat. (Wiyono,2006:2)
Sebagaimana yang telah ditulis oleh Prof. Suko Wiyono yang mengutip dari  Diponolo, ciri – ciri negara kesatuan adalah : (1) Mewujudkan kebulatan tunggal,Mewujudkan kesatuan (unity)  (2) hanya mempunyai satu pemerintahan,satu kepala negara,satu badan legislator bagi seluruh daera (3) Merupakan negara tunggal yang mono sentris  ( berpusat satu ), ( 4 ) hanya ada satu pusat kekuasaan  yang memutar seluruh mesin pemerintahan  dari pusat sampai ke pelosok,hingga segala sesuatunya dapat diatur secara sentral, seragam, senyawa dalam keseluruhannya, (5) pengaturan  oleh pusat kepada seluruh daerah  tersebut lebih bersifat  koordinasi saja  namun tidak dalam pengertian bahwa segala-galanya diatur  diatur dan diperintahkan oleh pusat.
C.  KAJIAN TENTANG PANCASILA
1.   Pancasila sebagai  ideologi Bangsa dan  Negara  Indonesia
Ideologi berasal dari kata Yunani, eidos dan logos. Eidos artinya melihat,memandang,pikiran, idea, atau cita-cita. Sedangkan logos artinya ilmu. Secara sederhana  ideologi diartikan sebagai : apa yang dipikirkan,diinginkan atau yang dicita-citakan. Pada umumnya apa yang dinamakan ideologi adalah  seperangkat  cita-cita,gagasan-gagasan yang menyerupai keyakinan,tersususun secara sistematis,disertai petunjuk cara mewujudkan  cita  -  cita tersebut .Ideologi adalah  suatu gagasan yang berdasarkan pemikiran.Ideologi merupakan  keseluruhan  pandangan, cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin diwujudkan  oleh para pendukungya dalam kenyataan hidup yang kongkrit . (Wiyono,2006,16)
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia  maka Pancasila bukan hanya merupakan  sutu hasil perenungan  atau pemikiran seseorang atau kelompok orang  sebagaimana ideologi-idelogi lain di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai – nilai adat-istiadat, nilai – nilai kebudayaan indonesia, serta nilai relegius yang yang terdapat dalam  pandangan hidup masyarakat indonesia sebelum membentuk negara. Dengan kata lain  perkataan unsur-unsur  yang merupakan materi Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini  merupakan kausa marterialis (bahan ) Pancasila . Unsur-unsur Pancasila tersebut  kemudian diangkat  dan dirumuskan  oleh para pendiri negara, sehingga  Pancasila berkedudukan  sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara Indonesia. ( Kaelani,2007:31)
  1. Proses perumusan pancasila
Sebagai tindak lanjut dari  janji Jepang tentang kemedekaan  Indonesia,  maka pada tanggal  29 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggotanya sebanyak 62 orang dan dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. Ketuanya adalah Dr. Radjiman Widyadiningrat.
Sidang I BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 dibuka oleh ketua BPUPKI Dr. Radjiman Widyadiningrat. Dalam sidang tersebut beliau meminta kepada segenap peserta sidang untuk memikirkan dasar negara Indonesia merdeka.
      Atas permintaan itu muncullah respon dari peserta sidang mengenai pemikiran dasar negara Indonesia merdeka. Mereka yang mengajukan konsep dasar negara Indonesia  adalah Mr. Muhammad Yamin,  Mr. Supomo, Ir. Soekarno.
a.      Konsep “dasar negara Indonesia” oleh Mr. Muhammad Yamin
            Tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan terlebih dahulu untuk mengajukan konsep dasar negara Indonesia merdeka. Dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, beliau mengajukan konsep dasar negara Indonesia merdeka, sebagai berikut :
      1). Peri Kebangsaan.
      2). Peri Kemanusiaan.
      3). Peri Ketuhanan.
      4). Peri Kerakyatan.
      5). Kesejahteraan Rakyat.
            Sebagai kelengkapan pada pidato yang diucapkan itu, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan juga secara tertulis rancangan UUD negara Indonesia merdeka yang di dalamnya memuat dasar negara, sebagai berikut :
      1). Ketuhanan yang Maha Esa.
      2). Kebangsaan, persatuan Indonesia.
      3). Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
                 4). Kerakyatan yang dipimpin olerh hikmat kebijaksanaan dalam                                     permusyawaratan perwakilan.
      5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.      Konsep “dasar negara Indonesia” oleh Mr. Supomo.
            Tanggal 31 Mei 1945, Mr. Supomo mendapat mendapat kesempatan untuk menyajikan konsep dasar negara Indonesia merdeka. Dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, beliau menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan ciri-ciri dan prinsip-prinsip ini :
Negara hendaknya tidak menyatu dengan bagian yang terbesar dari rakyat, juga tidak dengan kelompok ekonomi terkuat, melainkan harus mengatasi semua golongan dan kelompok dan semua individu. Untuk menyatukan dengan seluruh lapisan rakyat secara menyeluruh. Ini disebut paham atau ide integralistik. Negara Indonesia harus menjadi negara nasional, negara kesatuan, yang mencakup semua agama dengan watak dan ciri khasnya. Kalau kita mendirikan negara Islam di Indonesia, maka itu berarti bahwa kita tidak mendirikan negara yang menyatu dengan rakyat, melainkan menyatu dengan bagian terbesar dari rakyat Indonesia, ialah umat islam di Indonesia.

c.       Konsep “ dasar negara Indonesia “ oleh Ir. Soekarno.
            Tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya didepan sidang BPUPKI. Dalam pidatonya itu beliau menyampaikan kata-kata antara lain, sebagai berikut :
            “ Kita hendak mendirikan suatu bangsa, semua buat semua bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan bangsawan, maupun buat golongan yang kaya”.
            Dalam kesempatan itu Ir.Soekarno mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka, sebagai berikut :
      1). Kebangsaan Indonesia.
      2). Internasionalisme atau peri kemanusiaan.
      3). Mufakat atau demokratis.
      4). Kesejahteraan sosial.
      5). Ketuhanan yang Maha Esa.
Atas saran dari ahli bahasa, kelima asas  tersebut diberi nama Pancasila. Sidang 1 BPUPKI ini ditutup pada tanggal 1 Juni 1945. Sebelum ditutup, sidang menetapkan sembilan orang yang akan bertugas untuk merumuskan pandangan-pandangan yang telah ditemukan dalam sidang, terutama menyangkut rumusan sila-sila Pancasila.
Berdasarkan  ketetapan sidang I BPUPKI,mereka yang masuk ke dalam panitia sembilan adalah :
1). Ir.Sukarno                                      5). Abi kusno Tjokro Suyoso
2). Drs.Muhammad Hatta                   6). Haji Agus Salim
3). KH.Abd.Wahid Hayim                 7). Mr.Ahmad Subarjo
4). Abd Kahar Muzakir                       8). Mr.Muhammad Yamin
9). Mr. A.A. Maramis
Pada tanggal 22 Juni 1945  sembilan tokoh Nasional  anggota Badan penyelidik mengadakan pertemuan  untuk membahas pidato-pidato dan usul mengenai dasar negara yang telah dikemukakan  dalam sidang badan penyelidik Setelah mengadakan pembahasan diususunlah  sebuah piagam yang kemudian dikenal dengan sebutan piagam jakarta, dengan rumusan sebagai berikut :
1).  Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2).  Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3).  Persatuan indonesia.
4).  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam   permusyawaratan  perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Piagam Jakarta  yang didalamnya  terdapat perumusan  dan sistematika  pancasila sebagaimana diuraikan diatas,kemudian diterima oleh Badan penyelidik  dalam sidangnya yang kedua pada tanggal 14 Juni 1945.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan,yakni  pada tanggal 18 1945, PPKI sebagai  satu-satunya  lembaga tinggi negara pada waktu itu  mengambil langkah politik  dengan mengadakan sidang pertamanya. Dalam sidangnya  yang pertama itu PPKI  berhasil menetapkan  tiga keputusan penting, yaitu :
1.      Menetapkan dan mengesahakan  UUD Negara republik Indonesia
2.      Memilih dan menetapkan  Ir.Sukarno sebagai presiden dan Drs . Muhamad Hatta sebagai  wakil Presiden  Indonesia
3.      Akan membentuk badan komite nasional  sebagai  badan pembantu Presiden  sebelum  DPR dan MPR terbentuk.
Selain dari ke tiga keputusan itu, keputusan lain yang diambil adalah  mengenai penyempurnaan rumusan sila pertama  dari Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta. Dalam sidang ini  Drs.H.Muhammad Hatta  mengusulkan agar kata-kata  ketuhanan  dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya diubah menjadi  Ketuhanan yang maha Esa .
Perubahan itu dilakukan oleh para tokoh pendiri negara ini dengan pertimbangan agar kerukunan umat beragama di Indonesia tetap terpelihara dan persatuan kesatuan bangsa  tetap terjamin. Untuk menghindari keragaman, baik dalam penulisan  maupun ucapan, maka presiden mengeluarkan  instruksi nomor 12 Tahun 1968 mengenai rumusan dasar negara dan penulisannya.Penulisannya, yaitu Pancasila  sedangkan rumusannya adalah sebagai berikut :
1).  Ketuhanan Yang Maha Esa.
2).  Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3).  Persatuan indonesia.
4).  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan  perwakilan.
5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.




D.KAJIAN TENTANG NAHDLATUL ULAMA`
    1 .  Latar belakang  Kelahiran  NU
a. Motif Wawasan keagamaan 
Pada  awal abad XX , Raja Ibnu Saud, pemimipin  di Jazirah  Arab  dan kota Makkah  yang juga termasuk penganut ajaran wahabi melakukan  upaya –upaya dan gerakan modernisasi  pemurnian agama Islam. Gerakan pemurnian itu dilakukan dengan  penyerangan terhadap  ajaran-ajaran dari empat Mazdhab  yang menurut Wahabi, banyak dari ajaran  Imam / mazdhab tersebut  bertentangan  dalam Al Qur`an dan Hadits, seperti masalah taqlid, dan ijtihad, Ziarah Qubur, Pemberian pelajaran pada jenazah yang baru saja dimasukkan ke dalam liang kubur ( Talqin ), membaca barzanji, dan lai –lain .
  Kondisi Indonesia, khususnya  pulau Jawa  pada abad XX ditandai dengan mulai terjadinya ketegangan antara kaum pembaharu dan dan kaum tradisional. Munculnya gerakan pembaharu di Indonesia  sering disebut sebagai perpanjangan dari gerakan Wahabisme di Timur Tengah.
Ajaran wahabisme melalui penyebarnya yaaitu muhammad abduh cukup berpengaruh di kalangan orang-orang Islam Indonesia yang berkesempatan  belajar islam di Timur tengah. Meningkatnya gerakan wahabisme di indonesia juga dipengaruhi oleh kemenangan  golongan wahabi  di bawah kepemimpinan  raja Sa`ud di Arab saudi .  Sedikitnya ada tujuh Orang penyebar Islam  ternama dari Sumatera  Barat yang hidup di penghujung abd lalu  dan awal abad ini  yang terpengaruh kuat  dengan ajaran modernisme  Islam yang berasal dari  paham wahabisme, yaitu  Syaikh Muhammad   Khotib, Syekh Tahir jalaluddin, Syaikh Muhammad Jamil jambek, Abdul Karim Amirullah, Haji Abdullah Ahmad, Syaikh Ibrohim Musa, dan Zainuddin labai al-junusi .
Mereka melakukan  syiar Islam baik secara lansung  melalui pertemuan tatap muka, lembaga-lembaga pendidikan, yang dikembangakan,maupun secara tidak lansung  melalui ntulisan mereka di majalah. Hal ini telah menimbulkan terjadinya  ketegangan antara kalangan penganut Islam dan kalangan  tokoh-tokoh adat  dengan kalangan pembaharu.
Upaya untuk melembagakan tradisi  Islam yang telah lama mengakar  di tengah masyarakat, terutama dalam menghadapi  serangan dari kaum pembaharu  adalah salah hal yang mendasari didirikannya NU  sebagai sebuah organisasi .
Pada sekitar tahun 1914, K.H. Abdul Wahab Hasbullah bersama-sama dengan  K.H. Mas Mansyur mendirikan Tasywirul Afkar, semacam kelompok diskusi. Melalui Tashwirul Afkar inilah, Kiai Wahab menyalurkan aspirasi para pemuda dan meng-himpunnya dalam suatu ikatan. Tashwurul Afkar yang bermula di Surabaya kemudian berkembang di banyak kota di Jawa Timur. Berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, baik itu masalah agama, perkembangan dunia internasional, maupun masalah dalam negeri yang masih dijajah, semuanya dibawa dan dibahas pada diskusi da dalam Tashwirul Afkar.
Pada tahun 1920 merupakan rentang waktu diadakannya  kongres-kongres umat Islam di Indonsia. Pada rentang waktu tahun 1922  samapai 1926, aktifis aktifis Muslim dari berbagai organisasi  mengadakan serangkaian kongres bersama (disebut  kongres al Islam) Untuk mebahasa beberapa masalah yang dianggap penting yang menjadi keprihatinan bersama umat  Islam di Indonesia. Dalam Kongres ini walaupun wakil dari kelompok modernis banyak terwakili, namun dari kalangan tradisionalis juga terwakili. Kalangan tradisionalis  secara umum ingin menyampaikan  usulan berkenaan dengan  gerakan Wahabisme yang dilakukan oleh Raja Ibnu Sa`ud  .
Kalangan  tradisionalis  menolak tindakan yang dilakukan oleh Raja Ibnu Sa`ud  yang hendak menerapakan asas tunggal, yakni  mazdhab Wahabi di makkah, dan mengancurkan semua peninggalan ajaran Islam  yang selama ini banyak diziarahi oleh umat Islam, karena dianggap bid`ah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan yang hangat oleh kaum modernis Islam di Indonesia,baik dari kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan KH. Ahmad Dahlan  maupun Serikat Islam di bawah pimpinan H.O.S Tjokro Aminoto .
Sebaliknya  kalangan pesantren yang selama ini  membela keberagaman,dengan tegas menolak  pembatasan Mazdhab dan penghancuran  peradaban tersebut .
Kaum Tradisionalais menghendaki  agar utusan ke Kongres  makkah meminta jaminan  dari raja Ibnu Sa`ud  bahwa dia akan menhormati  Mazdhab-mazdhab fiqih ortodoks dan memperbolekan praktik keagamaan  tridisional yang telah dilakukan oleh kalangan umat Islam. Inilah masalah penting  bagi kaum tradisionalis, karena mekkah sejak lama  telah menjadi pusat kajian  ilmu Islam tradisional. Maka akan menjadi pukulan yang berat bagi  pendidikan Islam tradisionalis  di seluruh dunia Islam jika  ajaran fiqih yang bermazdhab Imam syafii dilarang. Demkian juga pelarangan terhadap kebiasaan ziarah ke makam – makam Orang Suci (Wali) di daerah sekitar makah akan menghilangakn  kesempatan bagi kaum Muslim  tradisional  di seluruh dunia  untuk memperoleh  pengalaman-pengalaman spiritual  yang penting .
Pada akhirnya, utusan Kongres Al Islam  ke kongres makkah  yang diwakili oleh  oleh kalangan pembaharu,Yakni H.O.S tjokro Aminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyyah) tidaka mau  meminta  kepada Raja Sa`ud  agar melindungi amaliah (kegiatan) keagamaan  tradisional  yang memang bertentangan dengan  Wahabi tersebut. Namun pada saat itu kaum tradisionalis telah memutuskan  bahwa jika kongres  Al Islam di Indonesia  tidak mau memberikan  tekanan kepada Raja Saud,maka kalangan tradisioanalis harus berusaha melakukan sendiri.  Para ulama`  dari kalangan tradisional  akhirnya bersepakat bertemu di kediaman  KH. Abdul Wahab  Hasbullah  pada 31 Januari  1926  dan  pada akhirnya  membentuk suatu komite yang diberi nama komite Hijaz. (Setiawan,2007:72)
Para Ulama yang terkumpul dalam komite hijaz antara lain  : KH.Hasyim Asy`ari, KH.Wahab Hasbullah, KH.Bisyri Sansyuri, K.H.R Asnawi,KH. Nawawi, KH.Nachrowi, KH.Alwi Abd Aziz .Dalam pertemuan para ulama tersebut menghasilakan kesepakatan  penting  untuk mengirimkan  delegasi ke makkah untuk memperjuangkan aspirasi para Ulama kepada Ibnu Saud agar tidak melarang  para penganut  Mazhhab ( Syafi`i, Hambali, Hanafi,maliki ) untuk tetap bisa menjalankan amaliah ibadah ritualnya yang telah biasa dilakukan nya, dan membentuk  Jam`iyyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan  Ulama`) untuk menegakkan berlakunya Ajaran Islam dalam haluan Ahlussunnah Wal Jamaah  di Indonesia .
Dari hasil keputusan tersebut, terlihat bahwa  komite hijaz  secara bulat memutuskan  untuk membentuk suatu Jam`iyyah  yang benama Nahdlatul Ulama’. Nama “Nahdlatul ulama “ sendiri pada mulanya  disusulkan oleh KH.Alwi Abd.Aziz dari Surabaya. Kemudian delegasi  ke kongres dunia Isalam  di Mekkah  yang dikirim oleh komite hijaz  yang juga membawa nama  Nahdlatul Ulama terdiri dari KH. Wahab Hasbullah dan Syekh Ghonaim .Mereka akhirnya pulang ke  tanah air dengan membawa kesuksesan  dalam misinya. Upaya perjuangan  komite hijaz  yang juga sebagai cikal bakal NU ini berhasil .  Hal ini terlihat  dari tanggapan positif  Raja Ibnu Saud  terhadap usulan –usulan yang diperjuangkan NU .
       b.  Motif Wawasan Kebangsaan
   NU lahir dengan latar belakang  sejarah yang panjang dan berliku. Arti penting lain  pembentukan NU  sebagai sebuah organisasi  adalah berkaitan  dengan wawasan kebangsaan  ( Nasionalisme )  yang selalu dijadikan  sebagai salah satu  dasar perjuangannya selama ini. Selain dilatar belakangi oleh   wawasan keagamaan  pada awal abad XX ,kelahiran NU juga dilatar belakangi oleh faktor pergolakan politik Bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan pada masa  Penjajahan.    
Pada periode awal  tumbuhnya pergerakan nasional di tanah air, NU turut serta melakukan pemupukan  rasa nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu . Pada saat merancang pertemuan Komite Hijaz, yang menjadi cikal bakalnya NU,  terjadi dialog antara KH.  Wahab Hasbullah dengan KH.Abd.Halim  yang mempersoalkan tentang tujuan komite Hijaz  yang dicantumkan  dalam surat undangan. KH. Wahab menjawab, bahwa tujuan  komite ijaz adalah untuk menuntut kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, Umat Islam tidak bisa leluasa  beribadah di bumi Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Kia wahab menyatakan  :
  “ ...tentu syarat nomor satu untuk  menunt kemerdekaan ( Indonesia ) .Umat Islam menuju ke jalan itu . Umat Islam tidak  leluasa beribadah  sebelum negara kita Merdeka.......Kita tidak  boleh putus asa,kita yakin tercapai negeri merdeka“. (Aula,1985)
        Dapat dilihat bahwa salah satu latar belakang NU didirikan oleh para Ulama Ahlussunnah Wal jama`ah  adalah dengan motif  Nasionalisme,yakni terwujudnya Indonesia sebagai negara merdeka. Hal ini  dilakukan terutama  melalui jalur pendidikan. Dengan Demikian Wawasan kebangsaan yang dimiliki NU  dapat dilihat  dari  segi sejarah sejak awal  berdirinya ( Setiawan,2007:79)
2. Kedudukan Ulama dalam NU
         Nama “Nahdlatul Ulama” yang berarti “Kebangkitan para Ulama” tidak hanya secara kebetulan dipilih untuk jam’iyah ini. Pemilihan nama ini, bukan Nahdlatul Muslimin atau Nahdlatul Ummah umpamanya, membuktikan betapa penting dan khasnya kedudukan ulama dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Pemilihan kepada Ulama sebagai tiang utama Nahdlatul Ulama ini didasarkan atas dua pertimbangan utama, yaitu :
1.   Sebagai organisasi keagamaan, harus memilih kekuatan yang sentralnya pada tokoh-tokoh yang paling kuat dan yan paling dapat dipertanggung jawabkan jiwa, mental, ilmu, amal dan akhlak keagamaannya, yaitu para Ulama.
2. Seorang ulama yang paling kecil lingkaran pengaruhnya pun selalu mempunyai kewibawaan dan pengaruh atas santri/muridnya dan santri/muridnya yang sudah pulang kampung sekalipun. Bahkan Ulama juga memiliki pengaruh dan kewibbawaan yang cukup besar dengan masyarakat sekitarnya yang dapat menembus kelompok-kelompok organisasi, batas-batas kedaerahan sampai jauh ke pelosok tanah air. (Shiddiq,2006:17)
3. Perangkat Organisasi NU
Untuk melaksanakan  tugas tugas pokok  dalam  rangka mencapai tjuan  oragani sasi, maka NU  membentuk organisasi  yang meliputi : Lembaga, Lajnah , dan Badan Otonom yang merupakan bagian dari ksatuan organisasi  Jam`iyyah Nahdlatul Ulma.
  1. Lembaga 
Lembaga adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama  yang berfunsi sebagai pelaksana kebijakan NU,khususnya yang berkaitan dengan bidang tertentu.Lembaga dapat dibentuk  di semua tingkatan  NU sesuai dengan kebutuhan  penanganan program  dan di tetapakan  oleh ermusyawaratan tertinggi. Di tingkat  Pengurus Besar, lembaga – lembaga yang  ditetapakan  oleh Muktamar  NU ke 31 di Donohudan  Boyolali Jawa Tengah  pada tanggal 28  November  2- Desember 2004 adalah :
1.   Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama` ( LDNU )
2.   Lemabaga Pendidikan Ma`arif  Nahdlatul lama ( LP Ma`arif NU )
3.   Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama  ( LPK NU )
4.   Rabithah Maahid Al Islamiyah  ( RMI )
5.   Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama ( LPNU )
6.   Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama ( LP2NU)
7.   Lembaga kemaslahatan keluarga NahdlatulUlama ( LKKNU )
8.   Lembaga Takmir Masjid  Indonesia ( LTMI )
9.   Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia ( LAKPESDAM)
10.  Lembaga Penyuluhan dan  bantuan Hukum  ( LPBH NU )
11.  Lembaga Seni Budaya  Muslimin Indonesia  ( LESBUMI )
12.  Lembaga  Waqaf dan pertanahan NU ( LWPNU )
13.  Lembaga Bahtsul masail  ( LBM NU )
     2.   Lajnah   
Lajnah  adalah  perangkat organisasi  NU untukmelaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang memerlukan penanganan  khusus . Lajnah yang dimiliki NU antara lain :
1 . Lajnah falakiyah ( LF NU )
2.  Lajnah Ta`lif Wan  Nasyr  ( LT NU )
3.   Lajnah Auqaf  ( LA NU )
4.   Lajnah Zakat , infaq , dan shadaqoh  ( LAZIZ NU )
5    Lajnah Bahtsul masail  ( LBM NU )
3.      Badan  Otonom
Badan Otonom adalah  perangkat organisasi  untuk melaksanakan kebijakan NU  yang befungsi membantu  melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama ,khususnya yang berkaitan dengan kelompok Mayarakat  tertentu  yang beranggotakan perseorangan.  Adapun badan Otonom yang dibawahi NU antyara lain :
1.   Jam`iyah Ahli Thoriqoh Al mu`tabaroh An Nahdliyyah ( JATMAN )
2.   Jam`iyyatul Qurra` Wal Huffadzh  ( JQH )
3.   Muslimat NU
4.   Gerakan Pemuda Anshor ( GP.ANSHOR )
5.   Fatayat NU
6.   Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama ( IPNU )
7.   Ikatan Pelajar Putri  Nahdlatul Ulama ` ( IPPNU )
8.   Ikatan sarjana Nahdlatul Ulama  ( ISNU )
9.   Sarikat Buruh Muslimin Indonesia ( SARBUMUSI)
10.  Pencak Silat Pagar Nusa
4.   Tingkat Kepengurusan Nahdlatul Ulama
Tingkat kepengurusan Nahdlatul Ulama  terdiri dari  :
1.   Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berkedudukan Ibu kota negara
2.   Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama  (PWNU) berkedudukan di  Propinsi atau daerah Istimewa
3.   Pengurus cabang Nahdlatul Ulama  ( PCNU ) yang berkedudukan di Kabupaten atau Kota Madya
4.   Pengurus Cabang  Istimewa (PCINU) yang berkedudukan di Luar negeri
5.   Pengurus Majlis Wakil cabang  (MWC NU)  berkedudukan di kecamatan
6.   Ranting Nahdlatul ulama (PRNU) berkedudukan di Desa atau     kelurahan .   
5.   Basis Masa NU
Pembentukan NU sebagai Organisasi   keagamaan merupakan  upaya peneguhan kembali  sebuah tradisi keagamaan  dan sosial yang sebenarnya  telah melembaga dalam   jaringan dan pola struktur yang mapan.Lembaga –lembaga  Pesantren,Kiyai,santri,jamaah, serta perkumpulan Tarekat  berpaham Ahlussunnah wal jamaah  yang tersebar di seluruh pelosok tanah air sebagai unit-unit  komunitas sosial budaya  masyarakat islam,telah menjadikan NU lebih muda  dalam melebarkan sayap organisasinya. Disamping itu, pengaruh K.Hasyim Asy`ari  dan KH. Wahab Hasbullah  di lingkungan Pesantren cukup kuat,sehingga  ketika NU pertama kali  didirikan  dan diperkenalkan,  begitu mudah menarik  minat dan simpati serta dukungan dari para kiyai yang memimpin Pesantren. Hubungan  kekerabatan  antar kiyai dalam lingkungan pesantren  di Jawa sangat membantu  penyebaran NU sampai di daerah –daerah .
Basis masa NU  pada saat ini bukan laagi hanya disisi oleh  kalangan Pesantren ,namun juga para politisi,akademisi,pelajar, mahasiswa, aktivis LSM, dokter,Pegawai negeri,Pegawai Swasta, Peani,nelayan,Pedagang, an lain sebagainya. Lembaga yang dimiliki NU, yakni Lembaga Pendidikan ( LP )  Ma`arif  NU, juga  sedah berhasil menghasilkan  beragam jenis sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia  yang terdiri dari : Taman kanak – kanak ,Raudlatul Athfal (RA), TPQ (Taman pendidikan Al Qur`an, Madrasah Ibtidaiyyah (MI),Sekolah dasar (SD) Madrasah Tsanawiyah (MTs),Sekolah Menengah pertama (SMP), Madrasah Aliyah ( MA), Sekolah Menengah Atas (SMA) Sekolah Menengah kejuaruan (SMK),Institut Agama Islam, Sekolah Tinggi, hingga Universitas (Perguruan tinggi).NUjuga mempunyai badab-badan sosial seperti : Panti Asuhan, Rumah Sakit, dan pelayanan kesehatan yang tersebar di berbagai daeraah di Indonesia.
6.   NU dan Partai Politik
         Nahdlatul Ulama  Sebagai Jam`iyah juga merupakan fenomena tersendiri dalam dunia perpolitikan di tanah air. Dilihat dari sudut pandang  kesejarahan,dapat diketahui bagaimana NU tampil  sebagai satu-satunya partai politik  yang mampu melintasi tiga tahapan kepolitikan  di Indonesia ( era Demokrasi Liberal,era Demokrasi terpimpin,era orde Baru ) dengan prestasi yang relatif stabil ,setidaknya dapat dilihat dari  prosentase perolehan suaranya dalam setiap pemilu.Pada Pemilu pertama di Indonesia  tahun 1955 , menjadi salah satu bukti betapa  NU mempunyai basis masa  yang cukup besar. Partai NU memperoleh  suara sekitar 18,4 %  ( 45 kursi ) ,dan mejadi urutan ketiga setelah Masyumi yang memperoleh 20,9 % ( 57 ) kursi,sementara peringkat pertama diduduki  PNI dengan perolehan suara 22,3 % ( 57 kursi ). NU tetap bertahan sebagai Partai Politik sampai akhirnya  fusi 1973 memaksanya  melebur diri dengan PPP.
         Kiprah NU di Partai Politik berakhir setelah  Muktamar NU ke 27 di Situbondo tahun 1984 membuat keputusan yang sangat fenomenal dan sangat bersejarah yakni mengembalikan jati diri NU ke garis awal NU didirikan,yang kemudian selanjutnya dikenal dengan Khittah 26.Muktamar kemudian mengambil keputusan  bahwa NU kembali  sebagai  Jam`iyah Diniyyah (organisasi sosial keagamaan) sebagaimana awal NU didirikan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.   Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memakai penelitihan jenis kajian kepustakaan ( library research ) yaitu penelitihan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai suatu masalah /topik kajian.
      Adapun sumber pustaka untuk bahan kajian ini dapat diambil dari  jurnal ilmiah, disertasi, skripsi, laporan penelitian, buku teks, makalah, laporan seminar, diskusi ilmiah atau terbitan resmi pemerintah  dan lembaga-lembaga lain. (Suharto,2008 : 212)
B.  Sumber data
Sumber data yang akan dihimpun secara global dalam penelitian ini meliputi :
a.       Sumber data Primer 
Sumber data Primer yaitu dokumen, literatur atau buku – buku utama  yang secara langsung  berhubungan dengan obyek penelitihan, antara lain :
1.      Al Qonun Al Asasi,  KH. Hasyim Asy`ari
2.      AD / ART NU
3.      Ahkamul Fuqoha ( Hasil Muktamar dan Munas  NU kesatu 1926 s/d  kedua puluh sembilan 1994)
4.      Salinan Naskah Keputusan Muktamar XXVII NU  tentang  Khittah Nahdlatul Ulama
5.      Salinan Naskah Keputusan Muktamar NU ke-28 tentang Pedoman berpolitik  Warga NU.
6.      Salinan Naskah Keputusan  Munas dan Konbes NU Surabaya 30 Juli 2006 tentang dukungan NU terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
b.      Sumber data sekunder
Sumber data sekunder  yaitu literatur atau buku-buku  lain yang ditulis oleh tokoh atau peneliti dengan permasalahan yang dibahas  dalam penelitihan ini sebagai analisis. Adapun Literatur yang  termasuk dalam kajian ini, antara lain :
1.   NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, KH.Abdul Mukhit Muzadi.
2.   Dinamika Kepemimpinan NU, Moh.Shodiq.
3.   Fajar Kebangunan Ulama, Lathiful Khuluq.
4.   Nasionalisme NU.
5.   Menjadi NU menjadi Indonesia, Ayu Sutarto
6.   Demoralisasi Khittah  NU dan Pembaharuan, Ahmad Nurhasim
7.   Jurnal Tasywirul Afkar, Lakpesdam NU 
8        Majalah AULA
9.   Islam Politik, Abdul Aziz

C.       Metode Pengumpulan data

                  Metode pengumpulan data merupakan cara yang digunakan  oleh seorang peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya.Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan penulis dalam penelitihan ini adalah sebagai berikut :
1. Menghimpun literatur yang yang berkaitan dengan objek penelitihan.
2. Mengklasifikasi buku berdasarkan  jenisnya baik primer maupun     sekunder
3.   Mengutip data atau konsep lengkap dengan sumbernya
4.      Mengkonfirmasi atau cross check data atau teori dari sumber data atau dengan sumber lainnya dalam rangka memperoleh keterpercayaan data.
5.      Mengelompokkan data berdasarkan sistematuika penelitihan yang telah disiapakan              
D.     Metode Analisa
Hasil penelitian akan diolah dan dianalisa dengan metode deskriptif-historis sebagai upaya penelusuran tentang bagaimana pandangan NU terhadap NKRI dan Pancasila.
a.. Analisis historis
Yaitu analisis yang menggunakan pendekatan sejarah dengan memaparkan latar belakang  atau motif  berdirinya  Nahdlatul Ulama  terutama hal-hal yang menjadi  landasan pandangannya terhadap Pancasila dan NKRI
c.       Analisis Diskriptif Yaitu Analisis yang menguraikan secara teratur mengenai paradigma NU  tentang hubungan Islam dan negara,serta pandangan NU tehadap  NKRI dan Pancasila.


IV
HASIL PENELITIHAN

A.    PARADIGMA NU TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

Istilah paradigma Menurut Kamus besar bahasa Indonesia adalah  memiliki beberapa pengertian yaitu, (1) daftar dari semua pembentukan dari dari sebuah kata yang memperlihatkan konjungsi  dan deklinasi kata tersebut, (2) model dalam teori ilmu pengetahuan, (3) kerangka berfikir Dalam konteks ini pengertian paradigma adalah pengertian kedua dan ketiga,yaitu kerangka berfikir Jam`iyah Nahdlatul Ulama dalam memandang hubungan Islam dan negara..
  1. Pandangan NU tentang Islam
Sejak didirikannya, Nahdlatul Ulama menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah). Lebih dari pada itu, menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah), bukan hanya sekedar organisasi yang didirikan oleh para pemeluk Islam untuk memperbaiki kedudukannya pada bidang tertentu saja, umpamanya bidang politik, ekonomi atau lainnya.
Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi Muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama memiliki wawasan keagamaan, yaitu bagaimana NU  memandang Islam, mahaminya, menghayatinya, mengamalkannya dan caranya bersikap menempatkann diri sebagai pemeluk agama :
a.       Islam sebagai ajaran (wahyu) Allah Swt. Yang Maha Luhur, harus ditempatkan pada kedudukan paling luhur dan dipelihara keluhurannya dengan mengamalkannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Swt.
b.      Agama Islam sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt. Kepada Nabi Muhammad Saw. Rasul terbesar dan terakhir, harus dipahami, dihayati dan diamalkan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh beliau.
c.       Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber dari segala sumber ajaran Islam, harus dipelajari dan dipahami melalui jalur-jalur dan saluran-saluran yang dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, yaitu para Khulafa ar- Rasyidun yang merupakan tokoh-toloh paling dekat Rasulullah Saw., para sahabat umumnya dan beberapa ge nerasi sesudahnya.
d.                  Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sangat luhur dan disampaikan secara berangsur-angsur (tidak sekaligus meskipun mengenai sesuatu masalah, sistematikannya tidak seperti sitematika buku pelajaran sekolah ) harus dipahami :
1). Menurut metode yang dapat dipertanggungjawabkan kekuatannya diukur dengan prinsip-prinsip Ajaran Islam sendiri dan dengan logika yang benar.
2). Dengan bekal perbendaharaan ilmu yang cukup jumlah dan jenisnya.
3). Dengan landasan mental (akhlak) dan dengan semata-mata mencari kebenaran yang diridhai oleh Allah Swt.
e.            Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarananya, tersedia satu-satunya cara memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu mengikuti pendapat hasil daya pikir tokoh-tokoh agama yang dapat dipertanggung jawabkan kemampuannya.
Di kalangan para Ulama pendiri Nahdlatul Ulama pendiri Nahdlatul Ulama serta para pendukungnya, sudah lama terdapat kesamaan wawasan keagamaan yang sudah melembaga dan membudaya sehingga merupakan rangkaian perwatakan (karakteristik). Bahkan kesamaan wawasan keagamaanini merupakan warisan dari para ulama pendahulunya berabad-abad lamanya. Wawasan keagamaan yang sudah membudaya ini dituangkan ke dalam Nahdlatul Ulama untuk dipelihara dan dikembangkan serta diamalkan. (Shiddiq,2006:13)
Perumusan dan pembakuan paradigma NU tentang hubungan antara Islam dan negara merupakan hal penting dalam rangka menjawab persoalan mendasar umat Islam menyangkut posisi Islam dalam negara. Paradigma NU ini akan berpengaruh cukup besar terhadap pehamanan tentang dasar  negara di Indonesia, bahkan paradigma inilah yang mejadi dasar  dari setiap  komunitas dalam  menerima atau menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Secara umum paradigma hubungan agama dan negara  terbagi menjadi tiga. (arif,2006:13)
a). Paradigma Integralistik
Paradigma ini memberikan konsep tentang bersatunya agama dan negara ( Al din wal daulah ). Agama dan negara dalam hali ini  tidak dapat dipisahkan.  Menurut paradigma ini negara merupakan lemabaga  politik sekaligus lembaga agama .Sehingga dalam wilayah agama juga wilayah politik.
Menurut  paradigma ini, seorang kepala negara merupakan seorang pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. emerintahannya diselenggarakan atas dasar “ Kedaulatan Tuhan “  yang meyakini bahwa kadaulatan berasal dari “ tangan Tuhan “ sedangakan konstitusi  yang digunakan adalah  konstitusi yang berasal dari Wahyu Tuhan.( setiawan,2007:17)
b). Paradigma Sekuleristik
Paradigma ini mempunyai konsep  bahwa antara agama dan negara merupakan dua hal yang terpisah. Paradigma ini menolak  pendasaran negara kepada  Islam,atau paling tidak menolak determenasi terhadap bentuk kenegaraan tertentu .
c).  Paradigma Simbiotik
                  Paradigma ini memiliki konsep bahwa antara agama dan negara berhubungan secara simbiotik yaitu timbal balik yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain.Dalam hal ini agama  memerlukan negara,karena dengan adanya negara maka agama bisa berkembang.Sebaliknya negara memerlukan agama karena agama dapat memberikan bimbingan dalam bentuk etika dan moral  serta nilai-nilai kebaikan  sehingga negara dapat berkembang  dengan baik .
NU dikenal sebagai organisasi keagamaan yang bercorak kebangsaan. Kelahiran NU juga didorong oleh semangat kebangsaan yang tinggi. Para ulama dan warga NU juga dikenal memiliki sikap yang moderat dalam menjalankan agamanya. Mereka memiliki rasa nasionalisme yang tinggi meskipun kecintaan mereka terhadap agamanya juga besar. Kaum Nahdliyyin mengikuti ajaran Walisongo tentang pentingnya mencintai tanah air, bangsa dan negara. Dasar pijakan yang dipegang oleh kaum Nahdliyyin adalah sebuah pandangan yang menyatakan bahwa “ cinta tanah air dan bangsa adalah bagian dari iman” (hubbul-wathan min al iman).
2. Pandangan NU tentang Negara
Dalam hal mendirikan sebuah negara, keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1997 di Lombok menetapkan bahwa membangun negara  / imamah adalah wajib syar’i. NU memiliki pandangan bahwa pemerintahan dalam suatu negara merupakan sunnatullah yang mesti terwujud secara syar’i maupun aqli untuk menjaga kedaulatan, mengatur tata kehidupan, melindungi hak-hak setiap warga negaranya dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang mandat dari rakyat, mengandung amanah rakyat sekaligus juga amanah ketuhanan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah swt., sehingga kekuasaan dan kewenangan tersebut harus didasari oleh rasa tanggungjawab ketuhanan dan dilaksanakan sesuai dengan tuntutan moral agama.
Mengenai bentuk negara, pendiri NU, K.H. M. Hasyim Asy’ari memiliki pandangan bahwa mendirikan negara Islam bukanlah suatu kewajiban bagi umat islam. Kiai Hasyim menyatakan :
Bentuk pemerintahan Islam tidak ditentukan. Ketika yang kita hormati Nabi Muhammad meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai bagaimana memilih kepala negara...., jadi, pemilihan kepala negara dan banyak lagi mengenai kenegaraan tidak ditentukan dan dapat dilaksanakan tidak terikat untuk mengikuti suatu sistem. Semua(sistem) dapat dilaksanakan pada masyarakat Islam pada setiap tempat. “  (Khuluq,2000:27)

Dari pandangan K.H. M. Hasyim Asy’ari tersebut, dapat diketahui bahwa sejak dulu NU menolak tentang pendirian negara Islam di Indonesia. Tampak jelas bahwa NU dan para pemimpinnya menerima bentuk negara Indonesia yang pluralistik serta memutuskan bahwa negara islam tidak diperlukan bagi bangsa Indonesia
3. Paradigma NU tentang hubungan Islam dan negara
Secara umum, paradigma NU tentang hubungan antara Islam dan negara dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor yang pertama yang dominan adalah paham keagamaan yang dianut NU, yakni paham Ahlussunah wal jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan ekstrem naqli ( skripturalis ). Oleh karena itu, sumber pemikiran bagi NU tidak hanya AL-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi, kemudian dalam fikih mengikuti empat Madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawwuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Faktor kedua adalah dasar pemikiran politik NU.
Dasar pemikiran politik NU terutama dipengaruhi oleh paham keagamaan yang dianutnya, yakni ahlussunnah wal jama’ah (Sunni) yang tergabung dalam wadah organisasi NU juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali.
Dalam teori politik Sunni terdapat 5 prinsip yang dipegang teguh, meliputi: tauhid (ketuhanan), al-syura (musyawarah), al’adalah (keadilan), al-hurriyah (kebebasan), dan al-masawah (kesetaraan). Kelima prinsip tersebut juga dipegang teguh oleh NU sebagai organisasinya kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah (Sunni) Indonesia.
Ø      Prinsip ketuhanan.
Prinsip ketuhanan dalam kehidupan politik merupakan suatu yang mutlak bagi NU. Dalam bentuk praksisnya, NU tidak membatasi format perwujudan prinsip ketuhanan tersebut dalam bentuk pemerintahan atau negara secara khusus.
Prinsip ketuhanan telah tercermin jelas dalam mukadimah Anggaran Dasar NU yang disahkan dalam Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Solo tahun 2004. Tercatat dalam mukadimah sebagai berikut :
“Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umat Islam merupakan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai aqidah Islam yang meyakini bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
NU memiliki pandangan bahwa kekuasaan dan kewenangan negara (pemerintah) selain mengandung amanat rakyat juga mengandung amanat ketuhanan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah swt.
Ø      Prinsip Musyawarah
Teori politik Sunni yang membahas tentang mekanisme pemerintahan sangat mengedepankan tentang prinsip musyawarah (al-syura).
Dalam Muktamar NU ke-30 di Kediri tahun 1999, didefinisikan tentang prinsip musyawarah (al-syura) sebaga”pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan bersama, baik secara langsung maupun perwakilan. Berdasarkan  definisi tersebut, dapat dilihat bahwa NU memegang prinsip bahwa dalam setiap pengambilan keputusan harus melibatkan seluruh unsur yang ada dalam masyarakat, baik itu dilakukan sercara langsung maupun perwakilan.
Ø      Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tema penting dalam ajaran islam. Rais ‘Am PBNU, DR.K.H.M.A. Sahal Mahfudh mendefinisikan keadilan berarti “menegakkan kebenaran dan kejujuran, serta belas kasih dan solidaritas.”  Menurut Kiai Sahal, keadilan mempunyai abstraksi yang sangat luas, sehingga sering terjadi perbedaan ukuran antara pimpinan dan yang dipimpin dalam memandang tentang keadilan.
Dalam salah satu hasil keputusan Muktamar NU ke-30 di kediri tahun 1999 didefinisikan tentang prinsip keadilan (al-‘adalah) adalah:
Menetapkan suatu keputusan baik berupa hukum, peraturan, maupun kebijakan sesuai dengan hakikat kebenaran objektif tanpa didasari pandangan dan kepentingan subjektif dan tidak bertentangan dengan al-Mabadi’ al-Khamsah.
Ø      Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan bagi NU diartikan sebagai suatu jaminan bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik, bertanggung jawab dan perilaku yang mulia ( al-akhlaq al-karimah).
Ketua PBNU, Prof. Dr. K.H. Said agil Siradj, M.A. menyatakan bahwa kebebasan pada hakikatnya adalah suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melaksanakan hak-hak mereka. Hak-hak dasar tersebut dalam hukum islamdisebut dengan ushul al-khams atau al-dharuriyyat al-khams (lima prinsip pokok yang menjadi kebutuhan primer). Kelima prinsip tersebut antara lain : menjaga jiwa (hifzh an-nafs), menjaga agama (hifzh ad-din), menjaga akal (hifzh al-‘aql), menjaga harta (hifzh al-mal), menjaga keturunan (hifzh an-nasl). Kelima prinsip tersebut juga sering didentifikasi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dijaga dan ditegakkan.(Zudi setiawan,2007:21)
Ø      Prinsip Kesetaraan
Prinsip kesetaraan menurut NU adalah suatu pandangan bahwa setiap orang atau individu mempunyai kedudukan yang sama tanpa adanya diskriminasi karena kesukuan, ras, agama,  jenis kelamin, kedudukan, kelas sosial dan lain-lain.
Secara umum, prinsip kesetaraan ini meliputi sikap saling menghormati terhadap segala bentuk perbedaan, baik berdasarkan suku, ras, agama, gender, budaya, atau golongan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, NU menerapkan prinsip kesetaraan dalam bentuk perlakuan yang sama terhadap semua warga negara tanpa adanya diskriminasi.
Kelima prinsip tersebut di atas dan juga paham ahlussunnah wal jama’ah telah menjadi dasar pemikiran politik NU selama ini. Dengan mengetahui dasar pemikiran politik NU tersebut, maka akan lebih mudah dalam menganalisis setiap kebijjakan politik yang diambil oleh NU.
Faktor  ketiga adalah kondisi objektif bangsa Indonesia yang plural. Secara fisik, kepulauan Nusantara terdiri lebih dari 13.000 pulau, baik besar maupun kecil. Selain itu, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, adat istiadat, serta agama yang menunjukkan betapa tingginya tingkat kemajemukan sosial-budaya di Indonesia. Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tak bisa dilepaskan dari sentuhan  dan pengaruh agama-agama  yang ada dan berkembang di berbagai daerah . Kehadiran agama –agama besar seperti Hindu , Budha , Islam dan nasrani  memberikan warna tersendiri  bagi kemajemukan  agama di Indonesia.
Dari seluruh paparan di atas,tampak jelas bahwa  menurut paradigma NU,landasan pelaksanaan negara tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama.  Bagi NU,Nasionalitas adalah keniscayaan  dalam peradaban manusia di bumi. Dengan demikian,Paradigma NU tentang hubungan Islam dan negara adalah bersifat Simbiotik (Symbiotic paradigm)  yang memiliki konsep bahwa  agama dan negara berhubungan secara simbiotik yaitu,hubungan timbal balik  yang saling membutuhkan satu sama lain. Dalam hal ini agama memerlukan negara,karena dengan adanya negara maka agama bisa berkembang. Sebaliknya ,negara memerlukan agama karena agama dapat membimbing  dalam bentuk etika  dan moral serta nilai kebaikan sehingga negara  dapat berkembang .
  1. PANCASILA  DAN  NKRI DALAM  PANDANGAN  NU
Kewajiban hidup bernegara merupakan suatu hal yang final bagi NU. Hal ini digambarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI dan Ketua umum PBNU ) dalam salah satu tulisannya sebagai berikut :
Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepas dari prilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. (Wahid,2000:156)   

Pola pemikiran seperti inilah yang membuat NU cenderung mendukung dan bersikap taat kepada kebijakan pemerintah. Di samping itu, NU juga menolak tuntutan pembentukan negara Islam ataupun pen-dasaran negara pada Islam di Indonesia. NU justru menyatakan bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  merupakan suatu bentuk negara yang final dan harus dipertahankan serta terus dilestarikan.
Disamping sebagai jam`iyah diniyyah ( Keagamaan ) yang berasas Islam  Ahlussunnah Wal Jama`ah,Nahdlatul Ulama juga tidak bisa dilepaskan dengan komitmen kebangsaannya. Karena itu NU  menjadikan Pancasila sebagai asasnya dalam kehidupan berbangasa dan bernegara. Hal ini bisa dilihat dalam Anggaran Dasar  dan Aturan Rumah Tangga (AD/ART) Nahdlatul Ulama Bab II Pasal 3 tentang aqidah dan asas organisasi  yang berbunyi :
1.  Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyah Diniyah Islamiyah beraqidah/berasas Islam
2.  Menganut faham Ahlusunnah wal Jama'ah dan menurut salah satu dari Madzhab  Empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
3.  Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, NAHDLATUL ULAMA berdasarkepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat   kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh  rakyat  Indonesia.

Keberadaan NU sebagai bagian integral dari bangsa dan negara,  senatiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa. NU secara sadar mengambil posisi yang aktif mangambil bagian pembangunan bangsa untuk menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlohi Allah SWT. Karena itu warga NU harus menjunjung tinggi  Pancasila dan UUD 1945. (Muzadi,2006:43)
          Pancasila adalah dasar Republik Indonesia.  Hal ini dicantumkan  oleh Undang-Undang  Dasar 1945 yang ditetapkan oleh PPKI . Menurut pandangan Kiyai Mukhit Muzadi ( salah seorang Musytasar NU),
Memang kalau diucapkan Pancasila rasanya dapat dianggap  bertentangan dengan Islam, setidak tidaknya tidak Islami. Tapi kalau Pancasila yang lima dasar itu digelar menjadi : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Kadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka tidak ada satupun  yang bertentangan dengan Islam, bahkan  pancasila merupakan bagian-bagian ( Juz`iyyah )  dari butir-butir ajaran Islam “. (Mukhit,2006:23)

          Prinsip  ketuhanan dalam Pancasila  yang merupakan  pokok perdebatan  sengit antara kalangan nasionalis Islam dan nasionalis sekular  sejak sebelum kemerdekaan  diselesaikan secara tuntas  oleh  NU dengan menyatakan bahwa  sila itu merupakan cerminan tauhid Islam. 
  Sila  Ketuhanan yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau menggambarkan  apa yang diinginkan oleh Tauhid Islam. KH.Ahmad Siddiq  yang sejak Muktamar  1984  terpilih sebagai Rois Am,orang yang boleh dikatakan sebagai konseptor utama munas  NU 1983 dan  perumusan kermbali ke khittah NU 26. Dalam makalahnya yang disampaikan dalam muktamar  NU 27 di Situbondo  KH.Ahmad Shiddiq mengatakan :
a.       Sila Ketuhan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah ,yang dikenal sebagai tauhid.
b.      Adapun pencantuman  anak kalimat “ Atas berkat rahmat Allah  Yang Maha Kuasa “ pada  pembukaan UUD 1945,menunjukkan kuatnya  wawasan keagamaan  dalam  kihidupan bernegara kita sebagai bangsa. (Martahan,2007:61)

           Kiyai Mukhit Muzadi  berpendapat, bahwa Menjadi NU berati menerima Pancasila sebagai dasar negara  dan bersedia mengamalkannya dengan ikhlas.Sedangakan menurut KH.Musthofa Bisri,Orang NU adalah umat Islam yang berada di indonesia,karena itu warga NU harus memakmurkan Indonesia sebagai rumah besarnya.
          Sikap keagamaan  NU seperti di atas dapat dipahami  melalui pola pemikiran  Al Ghazali. NU tidak bersikap antitesis  terhadap suatu nilai masyarakat,Sepanjang sutu sistem di dalam masyarakat itu tidak bertentetangan dengan keyakinan Islam,maka ia mempunyai  potensi untuk diarahakan  atau dikembangkan  agar selaras dengan tujuan-tujuan  di dalam Islam (Martahan,2007:43)
            Modal utama  bagi NU  dalam menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah ajaran  ahlussunnah waljama`ah yang dibawa oleh para Wali Songo  dengan sikap  adaptasi dengan tradisi lokal di Indonesia, sepanjang tidak bersinggungan  dengan persoalan  yang mendasar  tentang aqidah  Islam.
            Bekal utama yang juga sangat berharga dan berpengaruh bagi  Ulama NU sebagai sumber rujukan dalam penerimaanya terhadap  Pancasila sebagi dasar negara, adalah  kekayaannya akan litearur-literatur Islam klasik ( kitab kunig ) khususnya dalam hal persolaan kenegaraan sebagai  khazanah pemikiran Islam. Ktiab-kitab tersebut seperti Ahkamu Al Shulthoniyyah karya AL mawardi,  Tarikh al – Uman Wa Al muluk, karya Al  Thobari,Al Bidayah Wan Nihayah ,karya Imam Ibnu Katsir,Sirah Annabawiyyah ,karya Ibnu Hisyam,Al Kamil Fil Tarikh , karya Ibnu Al Atsir,Sulukul malik Fi tadribil Mamalik, karya Ibnu Arabi, dan lain sebagainya.
            Dengan kelengakapan dan kecakapan Intelektual yang dimiliknya,seperti Ilmu Ushul Fikih,Qowa`id Al Fiqhiyyah,Qowaidul Lughoh,Ilmul Balaghoh,Ilmu Al ma`ani, Ilmu Ijaroh Wal ta`dil , dan lain-lain, banyak kiyai yang sanggup melakukan kontekstualisasi terhadap kitab kuning . Dengan kerangaka  dan methodologi yang sedemikian rupa,Para Kiyai di Pesantren tidak mengusulkan berdirinya negara Islam. Mereka mempunyai konsep tersendiri  menyeleksi  mana tafsir keagamaan yang relefan dengan untuk diterapkan dalam konteks sekarang  dan mana yang  problematik. Para Kiyai NU senantiasa  memelihara teks-teks dan tradisi lama yang bermaslahat, namun tidak ada keraguan pula untuk mengambil pandangan –pandangan  baru yang lebih maslahat . Al Muhafazdah ala Al Qodimi Al sholih Wal Akhdhu bi al jadidi Al Ashlah .
            Sebelum Nahdlatul Ulama`berdiri pada tahun 1926 di Surabya, KH.Wahab Hasbullah  mendirikan organaisasi yang bernama “ Nahdlatul Wathan” ( Kebangkitan  Tanah Air ). Ini merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk Kiyai Wahab Hasbullah bersama Mas mansoer, seorang aktifis yang pernah menempuh pendidikan di Kairo.  Nahdlatul wathan adalah lembaga pendidikan yang bercorak nasionalis moderat  yang didirikan pada tahun 1914.
            Nahdlatul Wathan merupkan salah satu embrio dari Jam`iyah Nahdlatul Ulama`.Karena itu,dapat dilihat di sini  bahwa berdirinya  NU didorong oleh rasa patriotisme  dan nasionalisme yang tinggi. Melalui pendidikan  Nahdlatul wathan ini, pendidikan kasadaran akan cinta tanah air dan nasionalisme dibangun. Berkembangnya lembaga ini dapat dirasakan sesudah itu dengan  berdirinya organisasi pemuda  “ Syubbanul Wathan” ( Pemuda tanah air ) yang juga didirikan oleh KH.Wahab Hasbullah pada awal 1920. Dalam Organisasi Syubbanul  Wathan ini para pemuda  dididik sehinnga mempunyai jiwa  intelektual dan rasa nasionalisme yang tinggi 
            Dalam perkembangan sejarah Indonesia selanjutnya, Nahdlatul Ulama`, berpandangan bahwa mempertahankan negara merupakan suatu kewajiban. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan KH.Ahmad Shiddiq dalam makalahnya  yang berjudul “Khittah Nahdliyyah” sebagai berikut:
a. Negara nasional ( yang didirikan bersama  oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara        dipertahankan dan eksistensinya  .
b.Penguasa ( Pemerintah ) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati ,selama tidak menyeleweng ,dan atau memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah.
c.  Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah,cara memperingatkannya  melalui tata cara yang sebaik-baiknya. (Shiddiq,2006:66)

          Sebagai Jam`iyah yang berada di antara  arus gerakan formalisasi Syariat Islam pada era reformasi sekarang ini, NU kembali membuat ketetapan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan dalam keputusa Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Solo tahun 2004 tentang Taushiyah Muktamar di bidang politik nasional, yang berbunyi :
Dalam situasi sekarang penguatan komitmen kebangsaan tidak bisa dijalankan dengan cara paksaan apalagi kekerasan, tetapi perlu strategi kebudayaan baru untuk menata hubungan sosial dan hubungan antar bangsa berdasarkan kesetaraan dan kesukarelaan, sehingga solidaritas sosial dan solidaritas kebangsaan bisa diwujudkan. Bagi warga Nahdliyyin, Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan

NU sangat kontra dengan upaya-upaya kelompok yang mengupayakan ideologi lain sebagai dasar negara.  Hal ini sebagaimana yang dikatakan  oleh Ketua PBNU, KH.Said Aqil Siraj “ Jika ada Warga NU yang mengupayakan penggantian Pancasila dengan  ideologi lain, maka ia tak hana menginginkan Indonesia bercerai berai , tatapi ia juga telah berkhianat kepada KH.Abdul Wahid Hayim ( Putra Kiyai Hasyim, pendiri NU )  sebagai salah satu perumus Pancasila. Dalam BPUPKI . ( www.nu .or.id ,29 Mei 2009)
Dalam melihat fenomena  upaya penggantian pancasila sebagai dasar negara,Muqshit Ghozai di NU Online menceritakan tentang sikap Almarhum Kiyai As`ad Syamsul Arifin, Situbondo.  Tujuh belas tahun yang lalu, di dalam pertemuan  di Aula Pondok Pesantren Salafiyah Syafi`iyah Asem bagus Situbondo,dengan suara lantang dan bergetar  membaca Al Qur`an surat Taha ,17 – 21,Kiyai as`ad mengumpamakam  NU sebagai “ Tongkat Musa “ yang siap melawan pihak-pihak yang merongrong  ke utuhan NKRI. ( www.nu .or.id ,29 Mei 2009)
Persoalan yang sama juga dikemukakan oleh Ketua umum PBNU,KH.Hasyim Muzadi. Ia mengatakan : “ Selama Penduduk Indonesia ini masih plural, maka Pancasila tetap menjadi ideologi  negara karena ia dilahirkan melalui kesepakatan politik bersama. Sebab bagi NU konsensus ini dipertahankan  agar bangsa Indonesia tidak retak, tidak mengalami disintegrasi. Kalau sedikit saja terjadi disintegrasi  nasional, maka sulit dibayangkan bagaimana  cara menyelesaikan masalahnya ( www.nu .or.id ,29 Mei 2009)
 Sebagaimana yang dilansir oleh NU online pada tanggal 24 & 25 April 2007, PBNU juga meminta masyarakat Indonesia berhati-hati terhadap gerakan transnasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan ini dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik dan bukan sebagai jalan hidup. Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator dari gerakan mereka itu. Padahal, tegas Hasyim, yang dilakukan mestinya bukan formalisasi melainkan substansialisasi agama.
NU berupaya untuk mengukuhkan kembali komitmen kebangsaan yang mulai pudar  yang diakibatkan oleh situasi krisis dan semangat reformasi yang berlebihan. Situasi dan kondisi tersebut tidak hanya mengakibatkan hilangnya integritas bangsa dengan munculnya gerakan federalisme bahkan separatisme yang mengancam kesatuan nasional RI, tetapi juga menghancurkan tertib dan struktur sosial yang sudah mapan, sehingga merusak relasi sosial, yang kemudian memunculkan rasa saling curiga dan saling membenci yang berujung pada terjadinya konflik sosial.
Nahdlatul Ulama memandang bahwa NKRI  sebagai hasil kesepakatan seluruh bangsa Indonesia,dimana kaum muslim, terlibat dalam termasuk kaum Nahdliyyin terlibat dalam kesepakatan tersebut  melalui para pemimpin dan wakilnya. Oleh karenanya, NKRI harus dipertahankan  kelestariannya karena merupakan upaya final,dalam arti tidak akan berusaha mendirikan negara lain selain NKRI. (Ayu Sutarto,2008:4)
Perkembangan NU pada era Reformasi saat ini menunjukkan bahwa NU masih mencantumkan Pancasila, disamping juga Islam Ahlussunnah wal jama’ah, sebagai aqidah/ asas organisasi. Mengenai hal ini telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar (AD) NU hasil Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Solo pada tahun 2004.
Sejak dulu hingga sekarang, NU terus mempertahankan   Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia  dan   keutuhan NKRI. Bahkan, peran penting NU dalam mempertahankan keutuhan NKRI dan dasar negara Pancasila ini diakui oleh Presiden RI keenam, DR. Susilo Bambang Yudoyono. Ia mengungkapkan bahwa terdapat empat konsensus Indonesia yang meliputi Pancasila, UUD 1945, negara kesatuan dan Bhineka Tunggal Ika. Menurut Yudhoyono, dari sekian banyak komponen bangsa, NU lah yang paling konsisten dalam mempertahankan konsensus tersebut supaya tetap utuh dan selamat. (Setiawan,2007:31)
1 . Penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai Asas tunggal
Pada masa Orde Baru, pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi kekuatan sosial dan politik di Indonesia. Pada tanggal 19 Pebruari 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR mengeluarkan Undang-undang No. 3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerimaPancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan ini dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 8/1985 tentang ormas pada tanggal 17 Juni 1985. Undang-undang ini menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal. Saat itu, NU menjadi pelopor awal untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi sosial keagamaan dan partai politik. Langkah NU ini kemudian diikuti oleh segenap elemen bangsa yang lain.
Marthan Sitompul berpendapat ,Penerimaan NU atas Pancasila bukanlah akibat dari tekanan pihak eksternal dan bukan penerimaan yang terpaksa,juga bukan penerimaan yang bersfat oportunis terhadap kekuasaan. Tapi penerimaan yang positif  karena Pancasila telah dinilai sah berdasarkan  theologi Islam  dan berlansdaskan dalil-dali pendapat tradisional Islam Disinilah keunggulan  golongan tradisional, NU mempunyai kekayaan rujukan  untuk menaggapi sesuatu perkembangan dan tidak mudah jatuh terhadap sikap mutlak-mutlakan. (Marthan,2007:1)
Menurut Kiyai Mukhit Muzadi, NU dapat menerima Pancasila sebagai  asas tunggal dengan berapa pertimbangan antara lain : Pertama, sejak semula didirikan, NU tidak mencantumkan asas organisasi ( Jam`iyah ),melainkan menyebut tujuan. NU mencantumkan asas Islam,  ketika NU  menjadi Partai Politik  ( 1952 ), seperti halnya partai-partai yang lain mencamtumkan ideologinya, Kedua, Menurut NU, Islam bukanlah ideologi.  Islam adalah agama Allah,sedang Ideologi adalah  hasil pemikiran manusia. Ketiga,  Asas suatu organisasi tidak harus agamanya. Boleh asas itu kerakyatan,keadilan, kekeluargaan dan sebagainya. (Muzadi,2007:75)
Menurut Kiai Achmad Shiddiq, pada saat Islam dicantumkan sebagai asas organisasi, maka hal itu diartikan Islam sebagai ideologi, bukan dalam arti agama. Asas hanya merupakan simbol ideologi, bukan agama itu sendiri. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam sebagai agama. Kata Kiai Achmad,”Ibarat makanan, Pancasila sudah kita kunyah selama 38 tahun; kok sekarang kita persoalkan halal dan haramnya.”Kiai Achmad juga menyatakan :
Bagi NU, Republik Indonesia merupakan bentuk final dari upaya seluruh bangsa Indonesia. Sebuah gambaran masyarakat yang dicita-citakan NU adalah masyarakat Pancasila yang sosialistis-religius. Masyarakat Indonesia di masa mendatang adalah masyarakat Pancasila. Dalam masyarakat Pancasila kita masukkan nilai-nilai agama. Jadi tidak usah nama, yang penting isinya.

 Pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983, K.H. Achmad Siddiq mempresentasikan makalah yang kemudian menjadi acuan bagi keputusan Munas yang melahirkan deklarasi tentang hubungan Pancasila dan Islam yang berisi :
1.      Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak daapat mengantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk mengganti kedudukan agama.
2.      Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3.      Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4.      Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5.      Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak

C . PRAKSIS KEBANGSAAN  NU DALAM MENDUKUNG PANCASILA DAN NKRI
                  Praksis kebangsaan  ( Nasionalisme ) NU yang dijalani  NU selama ini memang telah melahirkan sebuah pandangan  bahwa NU adalah organisasi  yang selalu membela  dan mencintai tanah Airnya.Dalam catatan sejarah,tingginya Nasionalisme Nu tidak bisa diragukan lagi. Dasar yang digunakan sebagai pijakan bagi para Ulama NU  dalam membela tanah airnya  adalah sebuah prinsip  yang menyatakan bahwa  “ cinta tanah air merupkan bagian dari iman “(Hubbul Wathan Minal Iman ). NU telah menampilkan citra dirinya  sebagai organisasi ke-Islaman – an yang bercorak kebangsaan. Adapun sikap dan perilaku Nasionalisme NU dapat dibuktikan dengan sebagian contoh antara lain :
 1. Resolusi  / Fatwa Jihad
             Adanya kewajiban fikih untuk melestarikan  tanah air Indonesia telah memberikan legitimasi bagi  munculnya tokoh-tokoh NU yang turut aktif dalam dunia perjuangan melawan penjajahan.
Pada tanggal 22 Oktober 1945, delapan minggu  setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, terjadi peperangan di Surabaya. Untuk memobilisir dukungan umat islam, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Fatwa tersebut sebagai berikut :
(I),Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan, (2) Republik Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan ditolong; (3) Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia, (4) Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali, (5) Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang. (khuluq,2000.27)

Fatwa ini kemudian dibutuhkan oleh segenap ulama yang mengadakan pertemuan di Surabaya pada November 1945 yang menyatakan kembali pendapat mereka bahwa kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan dan Republik Indonesia dalah satu-satunya pemerintahan yang sah yang harus dilindungi meskipun dengan mengorbankan harta dan nyawa. Para ulama juga memutuskan bahwa pergi berhaji dengan menggunakan kapal belanda adalah terlarang. Fatwa tersebut juga dikuatkan dengan karisma K.H. Hasyim Asy’ari dan perlunya berperang melawan orang-orang kafir.  Jadi, perang kemerdekaan dipandang sebagai perang suci di Jalan Allah ( Jihad fi sabilillah) dan barang siapa yang mati dalam perang ini dijamin masuk surga. Sampai sekarang, perang ini masih dipandang sebagai perang terbesar dalam sejarah Indonesia modern sehingga 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Akhirnya, dapat dilihat bahwa fatwa ini merupakan contoh yang paling jelas mengenai usaha para ualama NU untuk memperjuankan Bangsa Indonesia dari kolonialisme.Ideologi Jihad memainkan peranan yang sangat penting dalam  gerakan anti kolonial.Ideologi ini telah mendorong  muslim santri untuk bergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah  yang dibentuk di masa  pendudukan Jepang..


2. Penetapan Soekarno sebagai Waliyyul Amri Dharuri Syaukah.
Penetapan Presiden Soekarno sebagai Waliy al-Amri al-Dharuri bi al-Syaukah (pemegang kekuasaan yang darurat dengan sebab mempunyai kekuatan) ditetapkan berdasarkan keputusan Koferensi Alim Ulama di Cipanas pada tahun 1954. Konferensi tersebut diprakarsai oleh Menteri Agama RI,K.H. Masjkur yang merupakan tokoh NU. Keputusan tersebut kemudian dikuatkan dalam salah satu hasil keputusan pada Muktamar NU ke-20 di Surabaya pada tahun 1954.
 Masyumi  memprotes keputusan tersebut karena dianggapnya kurang tepat  dan merupakan bencana bagi perjuangan Islam. Namun KH,Wahab hasbullah menangkis bahwa pemberian gelar  tersebut mempunyai  landasan fiqih yang cukup kuat  yakni bahwa wanita Islam  yang tidak mempunyai Wali nasab, perlu dikawinkan di depan wali hakim,supaya anaknya tidak menjadi anak zina.Karena itu ditetapkan bahwa yang harus menjadi  wali hakim  pada masa ini adalah  kepala negara, yang kemudian diwakili oleh pejabat . (Aziz,2006:43)
Keputusan ini menunjukkan bahwa NU turut andil dalam menegakkan dan menjaga keutuhan NKRI. Pada saat itu, NKRI digoncang oleh kekuatan DI/TII dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Secara umum, Kartosuwiryo dan kelompoknya menuntut dua hal, yakni pertama, supaya NKRI dijadikan negara Islam Indonesia. Kedua, menuntut agar kepemimpinan Soekarno dianggap tidak sah. Dua tuntutan ini satu sama lain memiliki kaitan yang erat, dan NU dengan tegas menolak dua tuntutan tersebut. Sikap ini menjadi bukti bahwa para kiai NU mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi.
3. Maklumat NU untuk mendukung Pancasila,UUD 1945 dan NKRI
Untuk semakin memperjelas mengenai sikap NU terhadap maraknya gerakan formalisasi syariat Islam yang pada ujungnya berupaya mendirikan negara Islam di Indonesia yang sangat berpontensi mengancam kesatuan  NKRI dan Pancasila, maka pada Forum Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama pada tanggal 28-30 Juli 2006 di Surabaya dikeluarkan maklumat untuk mendukung Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Dalam maklumat tersebut diantaranya disebutkan bahwa NU bertekad meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peneguhan ini perlu dilakukan karena menurut NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa, Berikut ini isi Maklumat Nahdlatul Ulama untuk mendukung Pancasila, UUD 1945, dan NKRI :
Maklumat Nahdlatul Ulama

Bahwa sepanjang sejarah Republik Indonesia, setiap upaya mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi negara apalagi upaya untuk menggantikannya, terbukti senantiasa menimbulkan perpecahan di kalangan bangsa dan secara realistis tidak menguntungkan umat Islam sebagai mayoritas bangsa. Hingga kini, Pancasila sebagai ideologi negara masih tetap merupakan satu-satunya ideologi yang secara dinamis dan harmonis dapat menampung nilai-nilai keanekaragaman agama maupun budaya, sehingga Indonesia kokoh dan utuh tidak terjebak menjadi negara agama (teokrasi) maupun menjadi negara sekuler yang mengabaikan nilai-nilai agama.
Dewasa ini, mulai terasa upaya menarik Pancasila ke kiri dan ke kana, yang apabila tidak diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa dan membahayakan dan menggoyahkan eksistensi dan posisi Pancasila itu sendiri.
Gerakan reformasi yang melahirkan amandemen terhadap UUD 1945, diakui telah banyak menyumbangkan demokrasi dan kebebasan hak asasi, namun dirasakan pula bahwa reformasi juga melahirkan problem-problem tertentu, maka wajar kalau reformasi direnungkan kembali.
Pancasila sebagai landasan yang berkerangka UUD 1945 melahirkan ketatanegaraan yang diwadahi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh karenanya maka sistem otonomi khusus sama sekali tidak boleh menjurus kepada disintegrasi bangsa, apalagi pemisahan kewilayahan.
Perjauangan menegakkan agama dalam negara Pancasila har uslah ditata dengan prinsip kearifan, tidak boleh menghadapkan agama terhadap negara atau sebaliknya, tetapi dengan meletakkan agama sebagai sumber aspirasi serta menyumbangkan tata nilai agama yang kemudian diproses memalui prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap seluruh kepentingan bangsa. Sedangkan masing-masing agama di Indonesia dapat melakukan kegiatannya dengan leluasa dalam dimensi kepasyarakatan (civil socity).
Maka dengan ini, Nahdlatul Ulama :
MENEGUHKAN KEMBALI KOMITMEN
KEBANGSAANNYA UNTUK MEMPERTAHANKAN
 DAN MENGEMBANGKAN PANCASILA DAN
UUD 1945 DALAM WADAH  NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
Peneguhan ini dilakukan karena menurut NU, Pancasila UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final Umat Islam dan seluruh bangsa.
Ditetapkan dalam Munas dan Konbes NU di SURABAYA, 30 Juli 2006

      Rais Aam PBNU,                                          Ketua Umum PBNU



DR. K.H. M.A Sahal Mahfudh                            KH. Hasym Muzadi


Dengan demikian, setiap langkah maupun kebijakan yang diambil oleh NU selalu didasari semangat nasionalisme. Kebijakan NU yang menyatakan bahwa kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan UUD 1945 merupakan bentuk final dalam sistem kebangsaan, dan akan terus dipertahankan kelestariaannya, telah menjadi salah satu bukti bahwa NU memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. (Setiawan,2007:258)


D. ANALISA TENTANG PANCASILA DAN  NKRI DALAM  PANDANGAN  NAHDLATUL ULAMA
Sebagaimna yang tertulis dalam sejarah,sejak awal kelahirannya, Pancasila dimaksudkan  sebagai dasar negara yang mampu  mengikat semua elemen  bangsa  yang terdiri dari berbagai macam unsur budaya, etnis, dan agama untuk  mendirikan suatu negara  persatuan dan kesatuan  yang bedaulat.  Dalam perjalanannya sebagai dasar negara,  Pancasila  ternyata mengundang banyak perdebatan berkepanjangan bahkan sampai menimbulkan pemberontakan secara fisik yang tentu saja  memakan korban yang tidak bisa dikatakan sedikit.
Sejarah telah mencatat, setidaknya ada dua kelompok yang saling behadapan dalam perdebatan tentang perumusan dasar negara Indonesia. Kelompok pertama adalah mereka yang mengupayakan syariah Islam sebagai dasar negara yang diwakili oleh Masyumi, dan kelompok Nasionalis yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
Perdebatan panjang mengenai dasar  negara ini cukup wajar karena Indonesia yang terdiri dari beribu pulau,suku,adat,budaya dan agama yang ber beda-beda. Bagi yang mendukung  Pancasila sebagai dasar negara,Penetapan Pancasila sudah merupakan konsessus yang sesuai dengan representasi seluruh rakyat indonesia.
Sebagai bagian dari mayoritas komponen Bangsa, umat Islam pernah mengusulkan  Indonesia menjadi negara Islam di Majelis  Konstituante. Sebagai  orang yang merepresentasikan  kelompok Islam di dalam sidang tersebut,  Natsir mengatakan , “ dasar negara haruslah sesuatu yang sudah mengakar  di masyarakat”. Relitas sejarah,menurut Natsir, membuktikan bahwa  Islam sebagai agama yan dianut  mayoritas rakyat Indonesia  cukup mengakar di masyarakat . Islam , terangnya ,mempunyai sumber yang jelas  yang berasal dari wahyu.Tidak seperti Pancasila  yang mempunyai banyak tafsiran, tergantung pada pandangan filosofi seseorang.
Tokoh lain yang juga   sebagai pendukung paradigma ini adalah Sekarmaji Marijan Karto Suwiryo. Ia adalah Tokoh Kharismatik yang mendirika Organisasi Darul Islam / Tentara Islam indonesia (DI / TII ) . Orrganisasi DI / TII dilahirkan pada tanggal 7 agustus 1948,di Malang Bong, Jawa Barat.  Eksistensi lahirnya DI/TII dipicu oleh antara pemerintah Indonesia dengan belanda pada perjanjian Renville, 8 Januari 1948. Oleh kelompok Karto Suwiryo, perjanjian renville dinilai merugikan bagi bangsa Indonesia.. Akhirnya kelompok Karto suwiryo memisahkan diri dari Indonesia  dan terus berjuang melawan Belanda .
Alasan Karto Suwiryo memisahkan diri dari Indonesia karena dia menilai, bahwa  Pemerintah Indonesia telah berkompromi dengan Belanda yang dinilai Kafir (Secular) .Lebih dari itu kekecewaan Karto Suwiyo terhadap Pemerintah Indonesia juga dipicu oleh kekalahan Umat Islam saat merumuskan dasar negara Indonesia dalam bentuk Pancasila . Dalam pandangan Karto Suwiryo, Pancasila dianggap sebagai dasar negara yang sekuler dan tidak berdasarkan pada prinsip Syariah Islam. Kelompok  Pemerintah Indonesia dinilai Karto Suwiryo juga sebagai Pemerintah yang sekular. Sementara  Karto Suwiryo mempunyai anggapan bahwa Pemerintah Indonesia harus berdasarkan Syari`ah Islam. (Rubaidi,2008:121)
Tujuan  akhir dari visi Karto Suwiyo  adalah  terbentuknya  Negara Islam Indonesia ( NII ). Ia bermaksud menjadikan Islam sebagai  ideologi dan Agama resmi negara, dengan memproklamirkan  berdirinya Negara Islam Indonesia ( NII ).    Pada akhirnya, sejarah Indonesia telah mencatat  dan menempatkan  Darul Islam /Tentara Islam Indonesia (DI / TII) sebagai organisasi yang  terlarang dan dibubarkan oleh Pemerintahan Sukarno  .
Fenomena kebangkitan Islam  kembali  mencuat setelahkekuasan  orde baru  Usai. Hal ini ditandai dengan munculnya Organisasi Islam semacam FPI,MMI,Lasykar jihad dan lain sebagainya. Mereka memperjuangkan  kembali Piagam jakarta menjadi bagian konstitusi di indonesia . Disamping organisasi – organisasi tersebut juga muncul Hizbuttahrir,Organsasi yang mengusung tema Khilafah Islamiyah yang menegakkan pemerintahan Khilafah.  Fenomena  tersebut merupakan respon muslim tehadap sekularisasi barat  dan dominasi  terhadap dunia Islam, disamping respon terhadap krisis kepemimpinan  dikalangan umat Islam sendiri .     Kontroversi usaha  penerapan syariah Islam dalam konstitusi   menyeret  pada kecenderungan untuk mempertentangkan antara ajaran Islam dengan pancasila.  Kontroversi   diatas telah membentuk polarisasi  yang dipandang  sebagai hal yang bisa mengancam keutuhan dan  persatuan  NKRI .
Hal ini mengingingat kan kita  pada ultimatum Pendeta Oktavianus yang  mengancam, Indonesia Wilayah timur yang sebagai komunitas yang mayoritas beragama kristen  akan memisahkan diri dari republik ini jika   Piagam jakarta dimasukkan menjadi bagian dari konstitusi Indonesia. 
Di tengah arus pemikiran dan perjuangn tentang perlunya  Syariat Islam sebagai dasar negara, terdapat beberapa Ormas keagamaan yang cukup besar justru tidak mendukung, bahkan menolak Syariat Islam sebagai dasar negara.. Salah satu diantara ormas Islam yang menolak itu  adalah  Nahdlatul Ulama. Sebagai bagian dari komunitas Islam di Indonesia,Nahdlatul Ulama  tidak termasuk organisasi yang mendukung gagasan formalisai syariat  Islam. NU sebagai Jam`iyah justru menolak gagasan tersebut. NU sebagai Jamiyah tidak menginginkan berdirinya negara Islam  di Indonesia.  
NU justru dengan sangat tegas menyatakan  bahwa NKRI,Pancasila dan UUD 1945  adalah bentuk final dari sistem kebangsaan  di Indonesia  yang akan terus dipertahankan .
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah diniyah adalah wadah bagi para Ulama dan pengikutnya, didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M, dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal jamaah dengan mengambil salah satu Madzhab empat, masing-masing yaitu, Abu Hanifah, An-Nu’man Imam Maliki bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta untuk memepersatukan langkah para ulama dan pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia. Dengan demikian NU merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun serta mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram adil dan sejahtera.
Ada dua faktor utama yang menjadikan penyebab Ulama bangkit dan menghimpun kekuatan organisasi pada tahun 1926, yaitu :
Pertama, Kemunculan NU secara langsung atau tidak berada dalam situasi politik, dimana pergerakan menuju kemerdekaan sedang mulai memuncak. Fenomena tersebut secara otomatis melahirkan sikap Nasionalis di kalangan para Ulama pesantren untuk memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia.Munculnya  organisasi Nahdlatul wathan( Kebangkitan Tanah Air),Syubbanul Wathan (Pemuda tanah Air) sebagai bagian dari embrio  berdirinya NU merupakan  ciri-ciri Nasionalisme yang dimiliki NU.
Kedua, Kemunculan NU bisa dikatakan sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang berhembus dari timur tengah yang  hanya menekankan otoritas Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber pokok dari perilaku umat islam Di Indonesia gerakan pembaharuan setidaknya muncul dalam dua  wadah  yaitu syarikat Islam dan Muhammadiyah.
Syarikat Islam adalah awal dari gerakan Islam modern, Islam dalam bidang politik, dan Muhammadiyah bergerak dalam bidang sosial dan dakwah, namun hal itu bukan beartii bahwa para Ulama pendiri NU tidak mengenal pembaharuan.Bagi para Ulama NU memahami Islam tidak mungkin hanya dari Al- Qur’an dan hadits saja, tetapi harus melalui tradisi dan metode berfikir yang ditransmisikan oleh para ahlinya, dan ahlinya adalah para Ulama.
Pendapat Ulama tersebut sangatlah logis karena umat Islam yang terlahir jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat, jelas tidak bisa secara langsung bertemu dengan Nabi, sedangkan proses perkembangan peradaban manusia lebih kompleks yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan ketika Islam pertama kali turun sebagai agama.
a. Paradigma Nahdlatul Ulama tentang Hubungan Agama dan negara
           Ada tiga kategori paradigmatik  untuk menjelaskan  bagaimana  umat memaknai agama dan peran umat Islam  di dalam kehidupan bernegraa
Pertama, Paradigma Integralistik  Paradigma ini beranggapan bahwa segala urusan agama juga urusan yang menjadi tanggung jawab negara,begitu juga sebaliknya apa yang menjadi urusan agama juga termasuk urusan negara secara integral. Islam huwa Al dinun Wal daulah ( Islam adalah urusan agama dan negara )Kelomopk penganut paradigma ini menjadikan Islam sebagai dasar negara . dalam konteks Indonesia, sebagian para penganut paradigma ini berpandangan bahwa Pancasila merupakan “berhala”  yang disembah sebagi tuhan bagi penganutnya.
Kedua Paradigma Sekularistik.Paradigma ini berpandangan bahwa persoalan-oersoaln negara tidak ada sangkut pautnya dengan negara, begitu juga sebaliknya.Agama dalam perspektif ini tidak bisa dijadikan  inspirasi aaun bagi negara.
Ketiga,Paradigma Simbiotik. Paradigma ini melihat dan memposisikan agama  dan negara bersifat Simbiotik,yakni suatu hubungan timbal balik  yang saling memerlukan. Menurut kelompok ini  dengan tegas bahwa  Islam tidak mewajibkan berdirinya negara yang berdasarkan Islam. Ini artinya, Islam hadir bukan di ruang sosial yang kosong melainkan sudah terdapat peradaban yang datang sebelumnya.Islam juga hadir untuk memilah dan memilih tradisi  mana yang yang diyakini bersesuaian  dengan ajaran Islam  yang masih perlu dipertahankan .
Dalam kontek kenegaraan, NU juga mempunyai pandangan, bahwa hubungan agama dan negara merupakan hubungan simbiotik. Paradigma NU ini mempunyai kandungan maksud bahwa negara dan agama bisa saling membutuhkan agar terjadi saling pengertian demi mencapai keamanan, persatuan  bangsa dalam ridho Allah SWT.   Nahdlatul  Ulama memandang bahwa Islam sebagai  agama secara ideal memerankan fungsi sebagai agama “Rahmatan lil alamin” .Inilah Univesalitas Islam.
Pandangan mengenai universalitas Islam dalam kontek kenegaraan  yang ditawarkan oleh NU mempunyai tujuh prinsip.Ketujuh prinsip itu, yaitu :
 pertama, adalah asy-syura ( bermusyawarah ) .Artinya prinsip Musyawarah merupakan prinsip yang diperintahkan Al qur`an  dan karena itu merupakan prinsip etika politik.  
Kedua, prinsip al musawa ( kesamaan ),yaitu persamaan hak derajat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kehidupan bermasyarakat. Pada prinsip ini,manusia adalah sama.Yang berbeda atau yang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak pada ketinggian takwanya di hadapan Allah SWT.  
Ketiga, adalah prinsip Al adalah , ( keadilan ) .keadilan harus ditegakkan. tanpa diskriinasi ,penuh kejujuran,ketulusan dan integritas yang tinggi .
Keempat adalah Al hurriyah ( kebebasan )  yang bearti menganut kebebasan . Kebebasan yang hubungnyya dengan kehidupan masyarakat harus diatur dengan  harus diatur oleh perundang-ndangan  agar kebebasan seseorang tidak menggangu kebebasan orang yang lain.
Kelima adalah  Al amanah  ( kepercayaan ) .Dalam setiap detak kehidupan,termasuk dalam konteks negara ,kepercayaan merupakan faktor yang sangat penting  karena kepercayan merupakan amant dari rakyat  yang didalamnya terdapat kontrak sosial.
Keenam ialah prinsip Assalam  ( perdamaian ) sebagaimana yang diungkapkan dalam Alqur`an .
Ketujuh adalah Attasamuh  ( toleran ) yaitu prinsip yang saling menghormati  antar sesama warga masyarakat .Prinsip tasamukh  demikian  didalam NU diperkukuh  dengan ciri ciri yang  didalamnya terdapat  sikap tawasut  ( moderat ) dan tawazun ( menjaga keseimbangan ).
Prinsip tasamuh  ( toleran ) dan tawasuth ( moderat ) juga dipertunjukkan  NU didalam memaknai  dan memempatkan budaya – budaya lokal  seperti budaya Jawa.Hal ini karena kehadiran Islam sebagai agama  itu sendiri dalam pandangan NU  menyempurnakan peradaban dan tidak untk melenyapkan  seperti tradsi-tradisi masyarakat .
Berangkat dari paradigma Simbiotik dan pemahaman Islam rahmatal lil alamin sebagi bentuk universalisai Islam inilah, kemudian menjadikan NU menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Paradigma keagamaan NU yang inklusif  dan toleran ini secara ideal  akan mampu membentuk  ketuluasan persaudaraan seagama(Ukhuwah Islamiyyah) bahkan lain agama(Ukhuwah Basyariyah) dan kesetiaan nasioanal (Ukhuwah Wathoniyah).

b.Pancasila dan NKRI dalam pandangan Nahdlatul Ulama
Sebagaimana yang telah tercatat dalam perjalanan sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama` yang dilatar belakangi oleh faktor keagamaan dan faktor kebangsaan, NU berupaya mempertahankan dan mengembangkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia. Meskipun demikian NU  tidak mengidealkan bentuk negara Islam Indonesia. Nahdlatul Ulama melalui wakilnya, KH.Abdul Wahid Hasyim dalam tim sembilan PPKI  ikut merumuskan dan memutuskan  Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia. Disamping itu Nahdlatul Ulama juga menetapkan Presiden Sukarno sebagai Waliyyul Amri Bil dloruri Assyaukah (pemegang urusan pemerintah yang punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat dan rakyat).
Ketetapan yang diambil Nahdlatul ulama  tersebut bukanlah sesuatu yang dengan mudah begitu saja ditetapkan,melainkan dengan jalan pemikiran  dan dialog yang intensif dikalangan internal  Ulama NU melalui Bahtsul masail (Pembahasan masalah)  dengan merujuk kepada tradisi intelektual islam klasik Sikap dan pemikiran NU untuk merespon segala macam perkembangan sosial dan dinamika politik tentu saja tidak bisa dilepaskan dari ciri khas NU yang bersikap Tawasuth ( moderat )dan tasamukh ( toleransi )
 Dalam perjalanan sejarahnya, NU pernah memasuki wilayah politik praktis, meskipun  NU tetap mempertahankan ciri-ciri organisasi keagamaannya dalam merenspon dinamika politik waktu itu. Namun identitas NU sebagai Jam’iyah seringkali kabur. Setelah berfusi dengan PPP, NU larut ke dalam sikap politik dan sangat lemah dalam  mengembangkan sikap sosial dan keagamaannya.
Kekaburan identitas dan peran terjadi serentak dengan makin rendahnya peran Ulama dalam Organisasi. Untuk itu, ketetapan untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, yang selanjutnya disebut dengan Khittah NU 1926 adalah langkah yang tepat.
 Bagi NU, Pancasila dipandang  bukan sebagai  saingan agama apalagi menggantikan posisi agama,melainkan  sebagai falsafah  bangsa sedangkan agama merupakan wahyu yang berasal dari Allah SWT. Secara substansial Sila Ketuhanan yang Maha Esa dan sila – sila yang lain tidak bertentangan dengan ajaran Islam,bahkan kelima sila tersebut merupakan bagian dari implementasi ajaran Islam kecuali memang jika Pancasila ditafsirkan sebagai  hal yang bertentangan dengan  pesan-pesan aqidah secara fundamental.
 Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan dasar negara bukanlah merupakan akibat dari tekanan politik dari pihak luar, dan sikap  oportunis NU dalam melihat realitas politik tetapi penerimaan yang positif karena Pancasila dinilai sah berlandaskan dalil-dalil atau pendapat tradisional Islam.
Beberapa hal yang mendasari NU menerima Pancasila sebagai dasar negara dan asas tunggal adalah karena sikap para Ulama NU yang bersifat Tasamukh (toleran) dan tawasuth (moderat) yang memandang bahwa  Pancasila diangkat  dari nilai adat-istiadat,nilai-nilai budaya Indonesia,serta  nilai-nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup  masyarakat Indonesia sejak sebelum membentuk negara.. Disamping itu,faktor kerukunan dan saling menghormati antar komponen dalam negara Indonesia merupakan hal yang lebih diutamakan dari pada sekedar memaksakan diri membentuk Indonesia sebagai negara Islam. Pandangan ini sangat relevan dengan kaidah Ushul Fiqhi yang akrab dalam idiom  Dar`ul Mafasid muqoddam `ala jalbil Mashalih “(Menghindari kerusakan/kehancuran lebih diutamakan daripada  memperoleh kebaikan ).
Dalam konteks Indonesia,NU memandang bahwa mengindari disintegrasi bangsa lebih dahulu dihindari daripada  memaksakan syariah Islam dijadikan sebagai dasar negara.Hal ini selaras dengan  pendapat Azyumardi Azra. Menurutnya,paham keagamaan NU sama dengan paham yang dimiliki oleh masyarakat Aceh,Maluku dan kalimantan.yaitu yang berorientasi pada tarekat dan dan lembaga-lembaga tradisional.Melalui pendekatan sufistik,Ulama NU dapat menjalin dialog dengan para ulama di Aceh,untuk membangun rekonsiliasi bangsa. NU yang bersifat inklusif dan akomodatif akan sangat mudah melakukan pendekatan. Namun sayangnya peran integratifnya itu belum dilakukan secara maksimal oleh NU.Lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan,”memang NU telah berhasil menjalankan fungsi integratifnya di Jawa,oleh karena itu,demi kepentingan bangsa,oreintasi NU yang lebih condong ke Jawa harus dikembangkan ke luar Jawa” (Aula No10,Tahun 1999)
Hal diatas bisa dibuktikan dalam diri NU jauh sebelum Indonesia merdeka,tepatnya Muktamar NU pada tahun 1936 di Banjarmasin  NU sudah menetapakan bahwa  tidak ada kewajiban mendirikan negara  Islam.  Sepanjang Penduduk masih menaganut agama Islam dan Umat Islam tidak dalam keadaan diganggu  oleh pihak lain. Jawaban ini diambil dari kitab klasik yang berjudul  Bughyatul mustarsyidin  karya Syekh Hasan Al hadhrami .
Disinilah keunggulan tradisi NU yang memiliki kekayaan rujukan untuk menanggapi suatu perkembangan dan tidak jatuh pada sikap mutlak-mutlakan. Penerimaan NU terhadap Pancasila merupakan puncak dari sikap fleksibel dan adaptifnya dalam menghadapi perkembangan politik.
Dengan paradigma Subtansialnya, NU bertolak belakang dengan pandangan Sekular yang mensterilkan peran agama kedalam kehidupan negara. Begitu sebaliknya NU juga tidak memandang bahwa Indonesia bukanlah negara agama yang cenderung integral dari berbagai aspek kehidupan kenegaraan.  Berbeda dengan dua pehaman keagamaan yang lainnya, NU mempunyai sintesis dari kedua paradigma tersebut dengan  memandang bahwa negara memerlukan etika moral sebagaimana yang diajarkan oleh agama. Sementara agama sendiri memerlukan kawalan negara untuk kelestarian eksistensinya. Sering kali diucapkan, bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dengan politik.Hal itu memang benar.Dan NU tidak memisahkan politik dengan agama secara total seperti kelompok yang berparadigma sekular.Tetapi NU membedakan mana bidang yang berguna ditanggapi dan mana yang tidak berguna untuk ditanggapi. Politik bagi NU merupakan  salah satu Wasail ( upaya )  untuk memakmurkan Bangsa dan negara Indonesia yang penuh dengan ampunan Allah SWT.(Baldatun Thoyyibatun warobbun Ghofur ).
Dalam konteks Indonesia, lebih lanjut NU berpandangan bahwa Pancasila dan NKRI sebagai sistem yang dijadikan dasar bagi negara dilihat sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dua hal, yaitu :
1.      Roh lima dasar Pancasila itu sendiri bersesuaian dengan substansi ajaran agama .
2.      Penggunaan Pancasila adalah karena untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang pluralistik baik dalam hal suku maupun agama.
Keanekaragaman suku dan agama yang terwadahi oleh NKRI ini diamanatkan oleh Allah untuk saling mengenal, dan bukan untuk saling bercerai berai. Karena itu NU merekomendasikan, NKRI yang didirikan oleh seluruh rakyat Indinoesia  wajib dipertahankan eksistensinya. Sebagai konsekwensinya pemerintah yang sah  ( penguasa  ) harus ditatati,selama tidak menyimpang dari amanat rakyat yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah. Jika terdapat kesalahan dari Pemerintah,cara memperingatkan harus dengan sebaik-baiknya.(Bil hikmah wal mauizdatil Hasanah)
Bagi NU, garis politik  kebangsaannya sudah jelas,bahwa NU yang turut  merumuskan Pancasila akan tetap konsisten  mempertahankan Pancasila. Jika ada  warga NU yang  ikut merumuskan ideologi lain sebagai dasar negara,maka secara moral sudah barang tentu  ia bukan saja berkhianat terhadap bangsa dan NU, tetapi juga berkhianat terhadap KH.Abdul Wachid  ( Putra KH.Hasyim Asy`ari ) yang juga turut serta sebagai salah satu tim sembilan  yang ikut merumuskan Pancasila sebagai dasar negara .
Sedemikian pentingya arti Pancasila dan NKRI dalam pandangan NU, sehingga Kiyai As`ad megambarkan NU sebagai “ Tongkat Nabi Musa “ yang siap untuk diterjunkan guna melawan  para penggugat Pancasila dan NKRI.  Dalam kontek sosial, gambaran Kiyai As`ad tersebut merupakan seruan bagi warga NU  wajib hukumnya mempertahankan Pancasila dan NKRI.
Penerimaan NU terhadap Pancasila dan NKRI  tidak bisa dipungkiri sangat berharga bagi  bangsa dan negara Indonesia khususnya terciptanya iklim persatuan dan kesatuan diantara warga negara. Menurut penulis tidak bisa dibayangkan jika sekian puluh juta warga NU dan Ulamanya  berupaya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara di Indinesia bersama para komunitas lain yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara atau mengembalikan Piagam jakarta kedalam pembukaan UUD 1945, khususnya di era reformasi yang penuh dengan keterbukaan sekarang ini. Tentunya hal ini sangat membuat persatuan dan kesatuan NKRI rawan untuk terpecah belah sehingga dengan sendirinya sangat merugikan bagi aktifitas kehidupan masyarakat di setiap sektor kehidupan.
 Penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal  yang ditetapkan dalam Khittah  NU 1926 bukan hanya berharga bagi bangsa dan negara, lebih dari itu pandangan terhadap pancasila sebagai asas tunggal juga bermanfaat bagi NU sendiri, seperti :
Pertama, NU dapat mengunakan segala potensinya untuk membina kehidupan umat secara lebih sungguh-sungguh, karena selama NU menjadi partai politik, NU telah larut dalam konflik baik secara intern maupun dengan kelompok Islam lainnya.
Kedua, NU dapat kembali memulihkan peranan Ulama sebagai penentu segala gerak langkahnya yang selama NU berada di PPP peranan  Ulama hanya dijadikan sebagai pendorong “ mobil mogok” yakni  sebagai kendaraan politik elite partai saja.
Setelah kembali menjadi Jam`iyyah  diniyyah (Ormas keagamaan), baru terasa bahwa  NU kembali kepada garisnya yang semula,kepada khittahnya. Terasa sekali selama ini ada kesimpang siuran,ada kesemrawutan di dalam tubuh dan gerak NU. Banyak yang berharap  terutama kalangan sepuh  serta generasi mudah,bahwa akan tumbuh udara segar di dalam tubuh NU sehingga ada pembenahan dalam bergerak.
Saat itulah mulai terdengar kalimat kembali kepada semangat 1926, kembali kepada khittah 1926 dan lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut kian kencang. Apalagi fakta menunjukkan sesudah politik ke dalam PPP, kondisi NU bukan bertambah baik, justru kian semrawut dan terpuruk. (Muzadi,2007:44)
Di era reformasi ini, NU kembali  menyerukan kepada segenap warga  NU khusunya,dan Warga negara Indonesia pada umumnya, bahwa peneguhan kembali komitmen NU terhadap eksistensi Pancasila mutlak diperlukan. Hal ini karena era reformasi  yang memang menghasilkan amandemen UUD 1945, diakui telah banyak menyumbang kebebasan berpendapat,kebebasan aksi dan demokrasi. Namun diakui  pula bahwa reformasi juga melahirkan masalah –masalah baru, maka wajar bila menurut NU  reformasi harus dievaluasi kembali.
NU juga memandang bahwa otonomi khusus  sama sekali tidak boleh  menjurus kearah disintegrasi bangsa  apalagi sampai ada pemisahan kewilayahan atau separatisme dari NKRI, karenanya perjuangan menegakkan agama  dalam negara Pancasila  tidak boleh menghadapkan agama dengan  negara atau sebaliknya,tetapi dengan meletakkan agama sebagai sumber inspirasi  serta menyumbang tata nilai moral  yang diproses melalui prinsip   demokrasi  dan perlindungan terhadap semua  bangsa.
Keutuhan NKRI  seringkali terancam  dengan munculnya berbagai gerakan separatisme  diberbagai tempat di Indonesia,misalnya  adalah yang terjadi di Aceh dan Papua.Untuk menaggapi hali ini para Kiyai NU  mengadakan Bahtsul masa`il  tentang gerakan separatisme. Dalam konsep  bughat menurut  fikih,para Ulama NU menyimpulkan  bahwa separatisme memang tidak dapat dibenarkan .
Dalam perspektif fiqih,gerakan  separatisme menurut Ulama NU,sering disebut  sebagai Khurujul anil Imam (membangkang terhadap penguasa).Bahkan dalam fikih gerakan separatisme bisa dihadapi dengan  kekuatan senjata  meskipun ada syaratnya,yaitu yang pertama, bahwa gerakan separatisme itu telah diajak berunding, namun ia tidak mau. Kedua, gerakan separatisme itu menggunakan senjata dan mereka menyatakan penolakannya terhadap pemerintah maka gerakan separatis itu bisa dihadapi dengan senjata,tetapi tetap menujunjug tinggi etika perang bahwa tidak boleh merusak properti maupun menyakiti warga negara,khususnya warga sipil,terutama perempuan dan anak-anak Itulah prinsip-prinsip yang  diatur oleh NU dalam mepertahankan NKRI





BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      1. Paradigma Nahdlatul Ulama tentang hubungan Islam dan Negara
Paradigma Nahdlatul Ulama tentang hubungan Islam dan negara bersifat simbiotik.Aplikasi  paradigma ini terletak pada pelaksanaan syariat Islam oleh warga masyarakat, tidak untuk dilegal formalkan dala kehidupan kenegaraan. NU justru memperjuangkan tegaknya tujuan umum syariat (maqashid al-syari’at) seperti keadilan, kujujuran, toleransi, kemaslahatan umum, hak asasi manusia, amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya
Kearifan untuk beradaptasi dengan budaya  yang dipegang dan dikembangkan oleh NU merupakan sikap para pendirinya sebagai Ulama penganut faham Ahlussnnah wal Jamaah. Dalam menjalankan dakwahnya, NU mengupayakan untuk mengisi tradisi lokal di Indonesia, tentunya dengan muatan-muatan keislaman. Menurut NU, upaya menumbuh kembangkan pemahaman ajaran Islam yang sesuai dengan kondisi masyarakat merupakan langkah sekaligus sarana yang strategis dalam mempertemukan keyakinan keagamaan dan wawasan kebangsaan (Nasionalisme) bagi NU, model dakwah pribumisasi Islam walisongo terus akan dipertahankan. Dengan demikian Paradigma NU  tentang hubungan antara Islam dan negara  bersifat Simbiotik, artinya negara membutuhkan agama sebagai bangunan moral dan etika  begitu juga  agama membutuhkan negara sebagai  pengawal untuk menjaga keberlangsungan eksistensi agama.
2. Pandangan NU tentang Pancasila dan NKRI
Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tidak termasuk  organisasi yang mendukung gagasan tentang formalisasi Syariat Islam sebagai dasar negara. NU justru secara tegas menolak gagasan tersebut.  Dalam pandangan Nahdlatul ulama`, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik indonesia bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan agama  dan tidak dapat mengganti kedudukan agama.
Nahdlatul Ulama juga memandang bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia  menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945,yang menjiwai sila –aila yang lain,mencerminkan Tauhid menurut keimanan dalam Islam. NU sebagai Jam`iyah  tidak menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia. NU justru dengan tegas menyatakan bahwa NKRI, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah bentuk final dari sistem kebangsaan di Indonesia yang akan terus dipertahankan. NU mengharapakan  setiap persolan apapaun yang terjadi di Indonesia jangan sampai berujung pada disintegrasi bangsa apalagi sampai terjadi pemisahan kewilayahan dari NKRI. NU juga memperkuat gerakan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Inilah praksis kebangsaan yang dijalankan oleh NU yang menunjukkan tingginya nasionalisme yang dimliki oleh kaum Nahdliyyin.
Dengan ketegasan sikap dan keputusan yang telah diambil oleh NU dalam merespon merebaknya gerakan formalisasi syariat Islam di Indonesia maka posisi dan peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah jelas. Untuk langkah berikutnya adalah NU perlu melakukan sosalisasi kepada semua warga NU serta masyarakat luas mengenai keputusannya menyangkut sikap dan pandangan NU tentang NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 dalam sistem kebangsaan di Indonesia ditambah dengan gagasan-gagasan moderatnya, baik secara internal maupun eksternal.
B. Saran-saran
    Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin memberikan saran-saran kepada peneliti selanjutnya dalam kaitannya dengan Pancasila dan NKRI dalam pandangan NU.
  1. Hendaknya peneliti lebih memahami dan mengenal NU sebagai sosok organisasi keagamaan yang telah banyak memberikan konstribusinya terhadap bangsa dan negara, dengan membangun kembali kesadaran dan komitmennya terhadap NKRI sebagai sistem kenegaraan dan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.
  2. Sebagai upaya negara yang masih terus memerlukan pemikiran para tokoh intelektual,Ulama,sebaiknya mengadakan  suatu penelitian tentang sejauhmana  pengaruh NU dalam masyarakat untuk membentuk masyarakat yang  religius dan nasionalis.
Akhirnya puji syukur penulis haturkan kepada Allah Swt, yang jelas memberikan kesehatan lahir dan batin, sehingga skripsi ini bisa diselesaikan, harapan penulis semoga skripsi ini ada manfaatnya bagi para pembaca.
           
Skripsi ini  jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik demi perbaikan sangat dibutuhkan unuk penelitian selanjutnya. 






















D