Sejak awal kelahirannya, Pancasila
dimaksudkan sebagai dasar negara yang
mampu mengikat semua elemen bangsa
yang terdiri dari berbagai macam unsur budaya, etnis dan agama untuk
mendirikan suatu negara persatuan dan kesatuan
yang bedaulat. Dalam
perjalanannya sebagai dasar negara,
Pancasila ternyata mengundang
banyak perdebatan berkepanjangan bahkan sampai menimbulkan pemberontakan
secara fisik yang tentu saja memakan korban yang tidak bisa dikatakan sedikit.
Sebagai bagian dari
mayoritas komponen Bangsa, umat Islam pernah mengusulkan Indonesia menjadi negara Islam di
Majlelis Konstituante. Sebagai orang yang merepresentasikan kelompok Islam di dalam sidang tersebut,
Natsir mengatakan, “dasar negara haruslah sesuatu yang sudah mengakar di
masyarakat.” Relitas sejarah, menurut Natsir, membuktikan bahwa Islam sebagai
agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia cukup mengakar di masyarakat.
Islam, terangnya, mempunyai sumber yang
jelas yang berasal dari wahyu.
Tidak seperti Pancasila yang mempunyai
banyak tafsiran, tergantung pada
pandangan filosofi seseorang. (Artawijaya,2007:28)
Senada dengan
Natsir,Buya Hamka yang juga ikut dalam sidang konstituante mengatakan ” Islam adalah dasar yang asli di tanah air kita.” Ia juga menambahkan “ Pancasila
tidak mempunyai dasar di negara kita , dan orang – orang yang
mengkhianati ruh nenek moyang pemimpin terdahulu adalah orang yang menukar perjuangan mereka ( para pahlawan ) dengan Pancasila.
(Artawijaya,2007:28)
Tokoh lain
yang juga sebagai pendukung paradigma ini adalah Sekarmaji Marijan Karto
Suwiryo. Ia adalah Tokoh Kharismatik yang mendirikan Organisasi Darul
Islam/Tentara Islam indonesia (DI/ TII ). Organisasi DI / TII dilahirkan pada
tanggal 7 agustus 1948 di Malang Bong Jawa Barat. Eksistensi lahirnya DI/TII
dipicu oleh antara pemerintah Indonesia dengan belanda pada perjanjian
Renville, 8 Januari 1948. Oleh kelompok Karto Suwiryo, perjanjian renville
dinilai merugikan bagi bangsa Indonesia.. Akhirnya kelompok Karto suwiryo
memisahkan diri dari Indonesia dan terus
berjuang melawan Belanda .
Alasan Karto Suwiryo
memisahkan diri dari Indonesia karena dia menilai, bahwa Pemerintah Indonesia telah berkompromi dengan
Belanda yang dinilai Kafir (Secular). Lebih dari itu kekecewaan Karto
Suwiyo terhadap Pemerintah Indonesia juga dipicu oleh kekalahan Umat Islam saat
merumuskan dasar negara Indonesia dalam bentuk Pancasila. Dalam pandangan Karto
Suwiryo, Pancasila dianggap sebagai dasar negara yang sekuler dan tidak
berdasarkan pada prinsip Syariah Islam. Kelompok Pemerintah Indonesia dinilai
Karto Suwiryo juga sebagai Pemerintah yang sekular. Sementara Karto Suwiryo
mempunyai anggapan bahwa Pemerintah Indonesia harus berdasarkan Syari`ah Islam.
(Rubaidi,2007:121)
Tujuan akhir dari visi Karto Suwiyo adalah
terbentuknya Negara Islam
Indonesia( NII ). Ia bermaksud menjadikan Islam sebagai ideologi dan Agama resmi negara, dengan
memproklamirkan berdirinya Negara Islam
Indonesia ( NII ). Pada akhirnya,
sejarah Indonesia telah mencatat dan
menempatkan Darul Islam / Tentara Islam
Indonesia (DI / TII) sebagai organisasi yang
terlarang dan dibubarkan oleh Pemerintahan Sukarno. (Zudi
Setiawan,2007:10)
Perjuangan untuk menjadikan Syariat Islam
sebagai dasar negara mengalami kefakuman ketika Orde baru berkuasa selama 32 tahun. Karena dalam periode ini kekuasaan
secara represif selalu menekan setiap aspirasi yang
berkembang di Masyarakat, sehingga untuk
menyatakan pendapat secara bebas sulit terwujud. Setelah kekuasaan Orde
baru berhenti pada tahun 1998, kondisi perpolitikan di tanah air mulai berubah.
Munculnya Orde reformasi telah
menjadi awal dimulainya upaya demokratisasi di Indonesia. Orde Reformasi ini
diyakini akan membawa harapan baru dan
menghasilkan perubahan yang lebih baik dibandingkan dengan Orde sebelumnya .
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang
kemudian memunculkan era reformasi itu juga telah membawa perubahan bagi
perkembangan politik,tak terkecuali politik Islam di Indonesia. Proses
perubahan yang diiringi dengan adanya
kebebasan berpolitik bagi semua pihak telah memberikan peluang bagi gerakan Islam formalistik untuk
bangkit dan menjalankan misinya untuk menegakkan Syariat Islam
sebagai dasar negara di Indonesia. Bukti yang menunjukkan terjadinya
kebangkitan Politik Islam dan tumbuhnya kembali
gagasan tentang formalisasi
syariat Islam di Indonesia pada era reformasi
setidaknya dapat dilihat dari empat indikator, yaitu :
( Indikator pertama ) Munculnya
Ormas Islam lengkap dengan masanya, seperti Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI ).HTI
memandang bahwa “ Al din Wal Daulah “ ( Agama dan
kekuasaan ) adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.Oleh karena itu tujuan
HTI adalah kehadiran Masyarakat yang diatur oleh hukum Islam dan dipimpin
oleh sistem khilafah Internasional. Di
samping HTI juga ada Majlis Mujahidin Indonesia ( MMI ), Front Pembela Islam (
FPI ), dan lain sebagainya. Mereka pada umumnya mempunyai tujuan yang sama,
yaitu penerapan Syariat Islam sebagai hukum positif di Indonesia. Selain dari
para tokoh Islam yang mempunyai pandangan tentang Pancasila yang menurut mereka
tidak sesuai dengan Islam di masa lalu, Pendapat yang ekstrim tentang Pancasila
di masa kini juga disampaikan Oleh oleh Rosyid
Ridho Ba'asyir “(Eks Pengajar di Ma'had Aly Tahfidz Al Quran Isy Karima
Karanganyar Jawa Tengah dan Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo Jawa Tengah)
ia mengatakan :
Pancasila
adalah patung (timtsal). Namun karena patung tersebut dijadikan simbul
kekufuran berupa sistem kenegaraan yang bertentangan dengan Islam pada
prinsip-prinsipnya, maka ia menjadi berhala(sesembahan selain Alloh Swt) yang
sering diistilahkan didalam syar’i dengan “al-watsan”. Begitupula
bendera, jika bendera itu adalah lambang dan simbul kekufuran; maka ia adalah
al-watsan, hingga haram bagi seorang muslim untuk menghormatinya serta
mengagungkanya dengan kerelaan hati. (http://www.muslimdaily.net)diakses,17
Maret 2009
( indikator
ke dua) Bedirinya partai politik
– partai politik baru yang mencamtumkan Islam sebagai asasnya. Pada masa Orde
baru, pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi kekuatan sosial
dan politik di Indonesia. Pada era
reformasi, telah terjadi liberalisasi politik, sehingga cukup banyak partai
politik yang baru berdiri tidak mencantumkan
Pancasila sebagai asasnya, justru yang dicantumkan sebagai asas partai adalah Islam .
Partai Persatuan Pembanagunan ( PPP ) yang pada masa Orde baru berasakan pancasila,
pada orde reformasi telah melakukan perubahan
dengan mencamtumkan Islam sebagai
asasnya .
( indikator ke tiga )
Adanya tuntutan pemberlakuan Piagam
Jakarta dalam Konstitusi oleh Partai Persatuan Pembangunan ( PPP ) pada saat berlangsungya sidang Istimewa MPR tahun 1998. Gagasan ini juga mengemuka
kembali pada tahun 2001 bersamaan
dengan Partai Bulan Bintang yang juga mengusulkan kembali Piagam Jakarta. Piagam Jakarta merupakan bagian penting dari tuntutan formalisasi
syariah Islam, karena ia memberikan pijakan
konstitusi ..
(indikator
ke empat ) Munculnya gerakan
penegakan Syariat Islam di
Daerah.Gerakan pemberlakuan syariat Islam tersebut juga mengarah kepada upaya
pemberlakuan syariat Islam secara formal
sebagai hukum positif dalam
bentuk Peratuaran Daerah (Perda).
Keempat indikator tersebut telah menunjukkan bahwa telah terjadi fenomena kebangkitan agama (Islam) secara formal maupun simbolik di dalam perpolitkan nasional. Fenomena kebangkitan Islam tersebut
merupakan respon muslim tehadap sekularisasi barat dan dominasi
terhadap dunia Islam, disamping respon terhadap krisis kepemimpinan dikalangan umat Islam sendiri. Dalam konteks
Indonesia, krisis yang melahirakan rasa frustasi dan rasa ketertindasan
menampakkan wujudnya dalam bentuk
sejumlah besar penyalah gunaan
oleh kaum elite yang menyebabkan maraknya korupsi, lemahnya penegakan
hukum dan ketimpangan ekonomi. Pada tingkat masyarakat, krisis tersebut
berbentuk meningkatnya kriminalitas, pudarnya solidaritas serta merajalelanya
tindakan kemaksiatan. Hal ini menyebabkan merosotnya legitimasi sistem
politik dan hukum yang berbasis sekular. Maka muncullah keinginan untuk kembali kepada nilai –
nilai dan sistem yang berbasis Islam . (
Rahmat,2002:2)
Kontroversi usaha penerapan syariah Islam dalam konstitusi
menyeret pada kecenderungan untuk
mempertentangkan antara ajaran Islam dengan Pancasila. Kontroversi diatas telah
membentuk polarisasi yang dipandang
sebagai hal yang bisa mengancam keutuhan dan persatuan
NKRI .Hal ini mengingatkan kita
pada ultimatum Pendeta Oktavianus yang
mengancam, Indonesia Wilayah timur yang sebagai komunitas yang mayoritas
beragama kristen akan memisahkan diri
dari Republik ini jika Piagam Jakarta
dimasukkan menjadi bagian dari konstitusi Indonesia.
Di tengah gencarnya arus pemikiran dan
perjuangn tentang perlunya Syariat Islam sebagai dasar negara, ada beberapa
Ormas keagamaan yang cukup besar justru tidak mendukung, bahkan menolak Syariat
Islam sebagai dasar negara.. Salah satu diantara ormas Islam yang menolak itu
adalah Nahdlatul Ulama. Sebagai
bagian dari komunitas Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama tidak termasuk organisasi yang mendukung
gagasan tentang formalisai syariat
Islam. NU sebagai Jam`iyah justru menolak gagasan tersebut. NU sejak
dulu hingga sekarang tidak menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia.
Sebagaimana yang diutarakan oleh KH.Musthofa
Bishri yang mengutip dari LSI, NU mempunyai anggota sekitar enam puluh juta orang. Sebagai sebuah Organisai sosial
keagamaan yang mempunyai jutaan
anggota, ratusan kiyai, ribuan Pesantren dan Santri yang juga sangat kental dengan urusan – urusan keagamaan,
sebenarnya NU mempunyai daya kekuatan penekan yang cukup signifikan untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam
di Indonesia atau syariah sebagai hukum
Positif di Indonesia. Namun hal itu tidak dilakukan Oleh NU.
Penulisan skripsi ini bukan bertujuan
membuat dikhotomi dikalangan internal umat
Islam, tetapi sebagai upaya penulis untuk memperjelas adanya perbedaan
cita-cita dan karakter antara NU sebagai
perwujudan golongan tradisional yang memegang teguh nilai-nilai keagamaanya,
karena Sesungguhnya Nahdlatul Ulama mempunyai pandangan tersendiri tentang Syariah
Islam, NKRI sebagai sistem kenegaraan, dan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia
- RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas, bahwa Moh. Natsir berpendapat bahwa dasar negara Indonesia haruslah Islam
sebagai sesuatu yang mengakar di tengah masyarakat, kemudian Hamka juga
berpendapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang sekular dan tidak punya
dasar di Indonesia, begitu juga Karto Suwiryo yang memandang bahwa Pancasila
dianggap sebagai dasar negara yang sekular dan tidak berdasarkan Islam sehingga
ia memperjuangkan berdirinya negara Islam dengan DI/TII nya,bahkan di era
reformasi ini ada yang berpendapat bahwa Pancasila merupakan Patung (timstal)
yang merupakan simbol kekufuran dan bertentangan dengan Islam, di tambah lagi
dengan HTI yang memperjuangkan sistem khilafah Islamiyah Internasional dan
munculnya ormas-ormas yang berupaya mengembalikan piagam jakarta sebagai bagian
dari konstitusi Indonesia.
Bedasarkan latar belakang masalah yang
dikemukakan di atas Supaya lebih terarah dan berfokus pada masalah yang
dikehendaki, maka perlu adanya rumusan masalah yang tertuang dalam bentuk
pertanyaan, yaitu :
1.
Bagaimana paradigma NU tentang
hubungan Islam dan negara. ?
2.
Bagaimana pandangan Nahdlatul
Ulama terhadap Pancasila dan NKRI ?
B. TUJUAN PENELITIAN
- Untuk mengetahui Paradigma Nahdlatul Ulama tentang hubungan antara Islam dan Negara
- Untuk mengetahui Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila dan NKRI
- KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
Sebagaimana lazimnya suatu penelitian atau
karya ilmiah yang tentu saja memiliki kegunaan sendiri-sendiri, maka penelitian
ini diharapkan dapat berguna, antara lain :
- Secara teoritis, kajian ini diharapkan untuk memperluas khazanah tentang Pandangan NU terhadap NKRI dan Pancasila.
- Secara praktis, Kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para para peneliti selanjutnya untuk membahas kajian serupa lebih lanjut.
E. DEFINISI ISTILAH
Untuk mempermudah
pemahaman dalam penulisan ini, maka berikut ini dipaparkan beberapa istilah
yang terkait, sebagai berikut :
1.
Pancasila adalah : Dasar negara Repeblik Indonesia yang terdiri dari
lima sila yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawartan perwakilan
5. Keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
2. NKRI adalah : Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang lahir
pada tanggal 17 Agustus 1945.
3. Nahdlatul Ulama adalah : Oraganisasi kemasyarakatan yang
didirikan oleh para Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.
F. SISTEMATIKA
PEMBAHASAN
Untuk
memperoleh gambaran umum mengenai apa yang dibahas, skripsi ini disusun dengan
sistematika sebagai berikut :
Bab I: Merupakan pendahuluan yang mencakup latar
belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian, tinjauan
pustaka, definisi istilah dan
sistematika pembahasan.
Bab II : Yaitu kerangka pemikiran dan
tinjauan teori yang menguraikan tentang tinjauan tentang negara meliputi
pengertian negara, dan NKRI sebagai sistem kenegaraan juga menguraikan tentang
tinjauan tentang Pancasila yang menjelaskan tentang Pancasila sebagai ideologi
bangsa dan negara Indonesia, proses perumusan Pancasila, juga menguraikan
tentang tinjauan tentang Nahdlatul Ulama yang dijelaskan dalam latar belakang
lahirnya Nahdlatul Ulama,peranan Ulamadalam organisasi Nahdlatul Ulama,
perangkat organisasai,tingkat kepengurusan dan basis massa NU.
Bab III : Metode penelitihan ,Sumber
data,metode pengumpulan data dan Metode analisa
BabIV :Pembahasan tentang hasil penelitihan
yang menguraikan tentang paradigma NU tentang hubungan agama dan negara, juga Pancasila dan NKRI
dalam pandangan NU.Analisa Pancasila dan NKRI dalam pandangan Nahdlatul Ulama
Bab V :
Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A . KAJIAN TENTANG NEGARA
1.
Pengertian negara
Secara historis pengertian negara
senantiasa berkembang sesuai dengan
kondisi masyarakat saat itu. Pada Zaman Yunani kuno para ahli filsafat negara merumuskan pengertian negara secara
beragam. Aristoteles yang hidup pada
tahun 384-322 S.M, merumuskan negara yang disebutnya sebagai polis, yang pada saat
itu dipahami negara masih dalam suatu
wilayah nyang kecil. Dalam pengertian itu negara disebut sebagai hukum, yang di dalamnya
terdapat sejumlah warga negara yang ikut dalam permusyawaratan.( Acclesia
). Oleh karena itu menurut aristoteles keadilan merupakan syarat mutlak bagi
terselenggaranya negara yang baik, demi
terwujudnya cita –cita seluruh
warganya.
Pengertian lain tentang negara dikemukakan oleh filsuf lain seperti Thomas
Hobbes(1588-1679), Jhon locke ( 1632 – 1704) dan Rousseau ( 1712-1778). Mereka
mengartikan negara sebagai suatu badan atau organisasi hasil dari perjanjian
masyarakat secra bersama. Menurut mereka, manusia sejak dilahirkan telah
membawa hak-hak asasinya seperti hak
untuk hidup, hak milik, serta hak kemerdekaan. Dalam keadaan ilmiah sebelum
terbentuknya negara, hak-hak tersebut belum ada yang menjamin perlindungannya,
sehingga dalam sattus naturalis, yaitu sebelum terbentuknya negara hak-hak itu
dapat dilanggar. Konsekuensianya dalam kehidupan alamiah tersebut terjadilah
perbenturan kepentingan berkaitan dengan hak-hak masyarakat tersebut. Dalam
keadaan naturalis sebelum terbentuknya negara menurut Hobbes akan terjadi Homo homoni lupus, yaitu
manusia menjadi serigala bagi manusia lain, dan akan timbul suatu perang
semesta yang disebut sebagai belum omnium
contre omnes dan hukum yang berlaku
adalah hukum rimba.
Pengertian lain tentang negara juga
dikemukakan oleh Harold J.Lasky, ia mengemukakan bahwa negara
adalah merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang
yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok.yang merupakan bagian
masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup bekerja
sama untuk tercapainya suatu tujuan bersama. Sementara itu Miriam budiarjo mengemukakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang undangannya melalui penguasaan
(kontrol) monoplistis dari kekuasaan yang sah.( Kailani,2007:77)
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan
oleh para filsuf serta para sarjana tentang
negara, maka dapat disimpulkan bahwa semua negara memiliki unsur–unsur yang yang mutlak harus ada. Unsur-unsur negara
meliputi :Wilayah atau daerah teritorial yang sah, rakyat yaitu suatu bangsa
sebagai pendukung pokok negara dan tidak terbatas hanya pada salah satu etnis
saja, serta pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat.
B. NKRI
SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN
Sejak Prolamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia
mengidealkan bentuk negara
kesatuan. Hal ini bisa ditelusuri dalam sejarah pergerakan sebelum
kemerdekaan.Pada waktu itu salah satu tokoh yang pernah menginginkan bentuk
bentuk negara federal apabila Indonesia merdeka di kemudian hari, adalah
Drs.H.Muhammad Hatta. Beliau berpendapat untuk bangsa Indonesia yang sangat
majemuk, lebih tepat bentuk negaranya adalah federal dan bukan negara kesatuan.
Pendirian itu belaiu kemukakan sejak ia
mudanya ketika belajar di Roterdam, belanda pada tahun 1930 - an sampai
awal tahun 1945. Pendirian Bung Hatta kemudian berubah setelah beliau banyak berdiskusi dengan para tokoh
pergerakan tentang sistem kenegaraan.[1]
Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila dalam sidang BPUPKI,
Bung Hata tidak lagi memperjuankan bentuk negara federal. Bung Hata yakin,
bahwa negara kesatuan yang hendak
dibangun, sudah dengan sendirinya juga
mencakup pembangunan daerah – daerah atas dasar prinsip desentralisasi .
Bentuk negara kesatuan
adalah bentuk negara yang terdiri satu negara saja. Betapapun besar maupun kecil, ke dalam maupun
keluar merupakan kesatuan .Pembagian wewenang dalam negara kesatuan pada garis besarnya telah ditentukan oleh
pembuat undang – undang di pusat, serta wewenang secara terperinci terdapat pada propinsi ,residu powernya ada
pada pemerintahan pusat. (Wiyono,2006:2)
Sebagaimana yang telah
ditulis oleh Prof. Suko Wiyono yang mengutip dari Diponolo, ciri – ciri negara kesatuan adalah
: (1) Mewujudkan kebulatan tunggal,Mewujudkan kesatuan (unity) (2) hanya mempunyai satu pemerintahan,satu
kepala negara,satu badan legislator bagi seluruh daera (3) Merupakan negara
tunggal yang mono sentris ( berpusat
satu ), ( 4 ) hanya ada satu pusat kekuasaan
yang memutar seluruh mesin pemerintahan
dari pusat sampai ke pelosok,hingga segala sesuatunya dapat diatur
secara sentral, seragam, senyawa dalam keseluruhannya, (5) pengaturan oleh pusat kepada seluruh daerah tersebut lebih bersifat koordinasi saja namun tidak dalam pengertian bahwa
segala-galanya diatur diatur dan
diperintahkan oleh pusat.
C. KAJIAN TENTANG PANCASILA
1. Pancasila
sebagai ideologi Bangsa dan Negara
Indonesia
Ideologi berasal dari kata Yunani, eidos
dan logos. Eidos artinya melihat,memandang,pikiran, idea, atau cita-cita.
Sedangkan logos artinya ilmu. Secara sederhana
ideologi diartikan sebagai : apa yang dipikirkan,diinginkan atau yang
dicita-citakan. Pada umumnya apa yang dinamakan ideologi adalah seperangkat
cita-cita,gagasan-gagasan yang menyerupai keyakinan,tersususun secara
sistematis,disertai petunjuk cara mewujudkan
cita - cita tersebut .Ideologi adalah suatu gagasan yang berdasarkan pemikiran.Ideologi
merupakan keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dan keyakinan
yang ingin diwujudkan oleh para
pendukungya dalam kenyataan hidup yang kongkrit . (Wiyono,2006,16)
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara
Indonesia maka Pancasila bukan hanya
merupakan sutu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok
orang sebagaimana ideologi-idelogi lain
di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai – nilai adat-istiadat, nilai –
nilai kebudayaan indonesia, serta nilai relegius yang yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat indonesia sebelum
membentuk negara. Dengan kata lain
perkataan unsur-unsur yang
merupakan materi Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat
Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini
merupakan kausa marterialis (bahan ) Pancasila . Unsur-unsur Pancasila
tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan
negara Indonesia. (
Kaelani,2007:31)
- Proses perumusan pancasila
Sebagai tindak lanjut dari janji Jepang tentang kemedekaan Indonesia,
maka pada tanggal 29 April 1945
dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Anggotanya sebanyak 62 orang dan dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. Ketuanya
adalah Dr. Radjiman Widyadiningrat.
Sidang I BPUPKI yang berlangsung pada
tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 dibuka oleh ketua BPUPKI Dr.
Radjiman Widyadiningrat. Dalam sidang tersebut beliau meminta kepada segenap
peserta sidang untuk memikirkan dasar negara Indonesia merdeka.
Atas permintaan
itu muncullah respon dari peserta sidang mengenai pemikiran dasar negara
Indonesia merdeka. Mereka yang mengajukan konsep dasar negara Indonesia adalah Mr. Muhammad Yamin, Mr. Supomo, Ir. Soekarno.
a.
Konsep “dasar negara
Indonesia” oleh Mr. Muhammad Yamin
Tanggal
29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan terlebih dahulu untuk mengajukan
konsep dasar negara Indonesia merdeka. Dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI,
beliau mengajukan konsep dasar negara Indonesia merdeka, sebagai berikut :
1).
Peri Kebangsaan.
2).
Peri Kemanusiaan.
3).
Peri Ketuhanan.
4).
Peri Kerakyatan.
5).
Kesejahteraan Rakyat.
Sebagai
kelengkapan pada pidato yang diucapkan itu, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan
juga secara tertulis rancangan UUD negara Indonesia merdeka yang di dalamnya
memuat dasar negara, sebagai berikut :
1).
Ketuhanan yang Maha Esa.
2). Kebangsaan,
persatuan Indonesia.
3).
Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
4). Kerakyatan yang dipimpin
olerh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5).
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.
Konsep “dasar negara
Indonesia” oleh Mr. Supomo.
Tanggal
31 Mei 1945, Mr. Supomo mendapat mendapat kesempatan untuk menyajikan konsep
dasar negara Indonesia merdeka. Dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, beliau
menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan ciri-ciri dan prinsip-prinsip
ini :
Negara hendaknya tidak menyatu dengan bagian yang terbesar dari rakyat,
juga tidak dengan kelompok ekonomi terkuat, melainkan harus mengatasi semua
golongan dan kelompok dan semua individu. Untuk menyatukan dengan seluruh lapisan
rakyat secara menyeluruh. Ini disebut paham atau ide integralistik. Negara
Indonesia harus menjadi negara nasional, negara kesatuan, yang mencakup semua
agama dengan watak dan ciri khasnya. Kalau kita mendirikan negara Islam di
Indonesia, maka itu berarti bahwa kita tidak mendirikan negara yang menyatu
dengan rakyat, melainkan menyatu dengan bagian terbesar dari rakyat Indonesia,
ialah umat islam di Indonesia.
c.
Konsep “ dasar negara
Indonesia “ oleh Ir. Soekarno.
Tanggal
1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya didepan sidang BPUPKI. Dalam
pidatonya itu beliau menyampaikan kata-kata antara lain, sebagai berikut :
“
Kita hendak mendirikan suatu bangsa, semua buat semua bukan buat satu orang,
bukan buat satu golongan bangsawan, maupun buat golongan yang kaya”.
Dalam
kesempatan itu Ir.Soekarno mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka, sebagai
berikut :
1).
Kebangsaan Indonesia.
2).
Internasionalisme atau peri kemanusiaan.
3).
Mufakat atau demokratis.
4).
Kesejahteraan sosial.
5).
Ketuhanan yang Maha Esa.
Atas saran dari ahli
bahasa, kelima asas tersebut diberi nama
Pancasila. Sidang 1 BPUPKI ini ditutup pada tanggal 1 Juni 1945. Sebelum
ditutup, sidang menetapkan sembilan orang yang akan bertugas untuk merumuskan
pandangan-pandangan yang telah ditemukan dalam sidang, terutama menyangkut
rumusan sila-sila Pancasila.
Berdasarkan ketetapan sidang I BPUPKI,mereka yang masuk
ke dalam panitia sembilan adalah :
1). Ir.Sukarno 5).
Abi kusno Tjokro Suyoso
2). Drs.Muhammad Hatta 6). Haji Agus Salim
3). KH.Abd.Wahid Hayim 7). Mr.Ahmad Subarjo
4). Abd Kahar Muzakir 8). Mr.Muhammad Yamin
9). Mr. A.A. Maramis
Pada tanggal 22 Juni
1945 sembilan tokoh Nasional anggota Badan penyelidik mengadakan
pertemuan untuk membahas pidato-pidato
dan usul mengenai dasar negara yang telah dikemukakan dalam sidang badan penyelidik Setelah
mengadakan pembahasan diususunlah sebuah
piagam yang kemudian dikenal dengan sebutan piagam jakarta, dengan rumusan
sebagai berikut :
1). Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2). Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
3). Persatuan
indonesia.
4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta
yang didalamnya terdapat
perumusan dan sistematika pancasila sebagaimana diuraikan diatas,kemudian
diterima oleh Badan penyelidik dalam
sidangnya yang kedua pada tanggal 14 Juni 1945.
Sehari setelah proklamasi
kemerdekaan,yakni pada tanggal 18 1945,
PPKI sebagai satu-satunya lembaga tinggi negara pada waktu itu mengambil langkah politik dengan mengadakan sidang pertamanya. Dalam
sidangnya yang pertama itu PPKI berhasil menetapkan tiga keputusan penting, yaitu :
1.
Menetapkan dan mengesahakan UUD Negara republik Indonesia
2.
Memilih dan menetapkan Ir.Sukarno sebagai presiden dan Drs . Muhamad
Hatta sebagai wakil Presiden Indonesia
3.
Akan membentuk badan komite
nasional sebagai badan pembantu Presiden sebelum
DPR dan MPR terbentuk.
Selain dari ke tiga
keputusan itu, keputusan lain yang diambil adalah mengenai penyempurnaan rumusan sila
pertama dari Pancasila yang tercantum
dalam Piagam Jakarta. Dalam sidang ini
Drs.H.Muhammad Hatta mengusulkan
agar kata-kata ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya diubah menjadi Ketuhanan
yang maha Esa .
Perubahan itu dilakukan oleh para tokoh
pendiri negara ini dengan pertimbangan agar kerukunan umat beragama di
Indonesia tetap terpelihara dan persatuan kesatuan bangsa tetap terjamin. Untuk menghindari keragaman,
baik dalam penulisan maupun ucapan, maka
presiden mengeluarkan instruksi nomor 12
Tahun 1968 mengenai rumusan dasar negara dan penulisannya.Penulisannya, yaitu
Pancasila sedangkan rumusannya adalah
sebagai berikut :
1). Ketuhanan Yang Maha Esa.
2). Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3). Persatuan indonesia.
4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
D.KAJIAN TENTANG
NAHDLATUL ULAMA`
1
. Latar belakang Kelahiran
NU
a.
Motif Wawasan keagamaan
Pada
awal abad XX , Raja Ibnu Saud, pemimipin
di Jazirah Arab dan kota Makkah yang juga termasuk penganut ajaran wahabi
melakukan upaya –upaya dan gerakan
modernisasi pemurnian agama Islam.
Gerakan pemurnian itu dilakukan dengan
penyerangan terhadap
ajaran-ajaran dari empat Mazdhab
yang menurut Wahabi, banyak dari ajaran
Imam / mazdhab tersebut
bertentangan dalam Al Qur`an dan Hadits,
seperti masalah taqlid, dan ijtihad, Ziarah Qubur, Pemberian pelajaran pada
jenazah yang baru saja dimasukkan ke dalam liang kubur ( Talqin ), membaca
barzanji, dan lai –lain .
Kondisi Indonesia, khususnya
pulau Jawa pada abad XX ditandai
dengan mulai terjadinya ketegangan antara kaum pembaharu dan dan kaum
tradisional. Munculnya gerakan pembaharu di Indonesia sering disebut sebagai perpanjangan dari
gerakan Wahabisme di Timur Tengah.
Ajaran wahabisme melalui penyebarnya
yaaitu muhammad abduh cukup berpengaruh di kalangan orang-orang Islam Indonesia
yang berkesempatan belajar islam di
Timur tengah. Meningkatnya gerakan wahabisme di indonesia juga dipengaruhi oleh
kemenangan golongan wahabi di bawah kepemimpinan raja Sa`ud di Arab saudi . Sedikitnya ada tujuh Orang penyebar
Islam ternama dari Sumatera Barat yang hidup di penghujung abd lalu dan awal abad ini yang terpengaruh kuat dengan ajaran modernisme Islam yang berasal dari paham wahabisme, yaitu Syaikh Muhammad Khotib, Syekh Tahir jalaluddin, Syaikh
Muhammad Jamil jambek, Abdul Karim Amirullah, Haji Abdullah Ahmad, Syaikh
Ibrohim Musa, dan Zainuddin labai al-junusi .
Mereka melakukan syiar Islam baik secara lansung melalui pertemuan tatap muka, lembaga-lembaga
pendidikan, yang dikembangakan,maupun secara tidak lansung melalui ntulisan mereka di majalah. Hal ini
telah menimbulkan terjadinya ketegangan
antara kalangan penganut Islam dan kalangan
tokoh-tokoh adat dengan kalangan
pembaharu.
Upaya untuk melembagakan
tradisi Islam yang telah lama mengakar di tengah masyarakat, terutama dalam
menghadapi serangan dari kaum
pembaharu adalah salah hal yang
mendasari didirikannya NU sebagai sebuah
organisasi .
Pada sekitar tahun 1914,
K.H. Abdul Wahab Hasbullah bersama-sama dengan
K.H. Mas Mansyur mendirikan Tasywirul Afkar, semacam kelompok diskusi.
Melalui Tashwirul Afkar inilah, Kiai Wahab menyalurkan aspirasi para pemuda dan
meng-himpunnya dalam suatu ikatan. Tashwurul Afkar yang bermula di Surabaya
kemudian berkembang di banyak kota di Jawa Timur. Berbagai masalah yang muncul
dalam masyarakat, baik itu masalah agama, perkembangan dunia internasional,
maupun masalah dalam negeri yang masih dijajah, semuanya dibawa dan dibahas
pada diskusi da dalam Tashwirul Afkar.
Pada tahun 1920 merupakan
rentang waktu diadakannya
kongres-kongres umat Islam di Indonsia. Pada rentang waktu tahun
1922 samapai 1926, aktifis aktifis
Muslim dari berbagai organisasi
mengadakan serangkaian kongres bersama (disebut kongres al Islam) Untuk mebahasa beberapa
masalah yang dianggap penting yang menjadi keprihatinan bersama umat Islam di Indonesia. Dalam Kongres ini
walaupun wakil dari kelompok modernis banyak terwakili, namun dari kalangan
tradisionalis juga terwakili. Kalangan tradisionalis secara umum ingin menyampaikan usulan berkenaan dengan gerakan Wahabisme yang dilakukan oleh Raja
Ibnu Sa`ud .
Kalangan tradisionalis
menolak tindakan yang dilakukan oleh Raja Ibnu Sa`ud yang hendak menerapakan asas tunggal, yakni mazdhab Wahabi di makkah, dan mengancurkan
semua peninggalan ajaran Islam yang
selama ini banyak diziarahi oleh umat Islam, karena dianggap bid`ah. Gagasan
kaum wahabi tersebut mendapat sambutan yang hangat oleh kaum modernis Islam di
Indonesia,baik dari kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan KH. Ahmad
Dahlan maupun Serikat Islam di bawah
pimpinan H.O.S Tjokro Aminoto .
Sebaliknya kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman,dengan tegas menolak pembatasan Mazdhab dan penghancuran peradaban tersebut .
Kaum Tradisionalais
menghendaki agar utusan ke Kongres makkah meminta jaminan dari raja Ibnu Sa`ud bahwa dia akan menhormati Mazdhab-mazdhab fiqih ortodoks dan
memperbolekan praktik keagamaan
tridisional yang telah dilakukan oleh kalangan umat Islam. Inilah
masalah penting bagi kaum tradisionalis,
karena mekkah sejak lama telah menjadi
pusat kajian ilmu Islam tradisional.
Maka akan menjadi pukulan yang berat bagi
pendidikan Islam tradisionalis di
seluruh dunia Islam jika ajaran fiqih
yang bermazdhab Imam syafii dilarang. Demkian juga pelarangan terhadap
kebiasaan ziarah ke makam – makam Orang Suci (Wali) di daerah sekitar makah
akan menghilangakn kesempatan bagi kaum
Muslim tradisional di seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman spiritual yang penting .
Pada akhirnya, utusan
Kongres Al Islam ke kongres makkah yang diwakili oleh oleh kalangan pembaharu,Yakni H.O.S tjokro
Aminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyyah) tidaka mau meminta
kepada Raja Sa`ud agar melindungi
amaliah (kegiatan) keagamaan tradisional yang memang bertentangan dengan Wahabi tersebut. Namun pada saat itu kaum
tradisionalis telah memutuskan bahwa
jika kongres Al Islam di Indonesia tidak mau memberikan tekanan kepada Raja Saud,maka kalangan
tradisioanalis harus berusaha melakukan sendiri. Para ulama`
dari kalangan tradisional
akhirnya bersepakat bertemu di kediaman
KH. Abdul Wahab Hasbullah pada 31 Januari 1926
dan pada akhirnya membentuk suatu komite yang diberi nama
komite Hijaz. (Setiawan,2007:72)
Para Ulama yang terkumpul
dalam komite hijaz antara lain :
KH.Hasyim Asy`ari, KH.Wahab Hasbullah, KH.Bisyri Sansyuri, K.H.R Asnawi,KH.
Nawawi, KH.Nachrowi, KH.Alwi Abd Aziz .Dalam pertemuan para ulama tersebut
menghasilakan kesepakatan penting untuk mengirimkan delegasi ke makkah untuk memperjuangkan
aspirasi para Ulama kepada Ibnu Saud agar tidak melarang para penganut
Mazhhab ( Syafi`i, Hambali, Hanafi,maliki ) untuk tetap bisa menjalankan
amaliah ibadah ritualnya yang telah biasa dilakukan nya, dan membentuk Jam`iyyah bernama Nahdlatul Ulama
(kebangkitan Ulama`) untuk menegakkan
berlakunya Ajaran Islam dalam haluan Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia .
Dari hasil keputusan
tersebut, terlihat bahwa komite
hijaz secara bulat memutuskan untuk membentuk suatu Jam`iyyah yang benama Nahdlatul Ulama’. Nama “Nahdlatul
ulama “ sendiri pada mulanya disusulkan
oleh KH.Alwi Abd.Aziz dari Surabaya. Kemudian delegasi ke kongres dunia Isalam di Mekkah
yang dikirim oleh komite hijaz
yang juga membawa nama Nahdlatul
Ulama terdiri dari KH. Wahab Hasbullah dan Syekh Ghonaim .Mereka akhirnya
pulang ke tanah air dengan membawa
kesuksesan dalam misinya. Upaya
perjuangan komite hijaz yang juga sebagai cikal bakal NU ini berhasil
. Hal ini terlihat dari tanggapan positif Raja Ibnu Saud terhadap usulan –usulan yang diperjuangkan NU
.
b. Motif Wawasan Kebangsaan
NU lahir dengan latar belakang sejarah yang panjang dan berliku. Arti
penting lain pembentukan NU sebagai sebuah organisasi adalah berkaitan dengan wawasan kebangsaan ( Nasionalisme ) yang selalu dijadikan sebagai salah satu dasar perjuangannya selama ini. Selain
dilatar belakangi oleh wawasan
keagamaan pada awal abad XX ,kelahiran
NU juga dilatar belakangi oleh faktor pergolakan politik Bangsa Indonesia untuk
merebut kemerdekaan pada masa
Penjajahan.
Pada periode awal tumbuhnya pergerakan nasional di tanah air,
NU turut serta melakukan pemupukan rasa
nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu . Pada saat merancang pertemuan
Komite Hijaz, yang menjadi cikal bakalnya NU,
terjadi dialog antara KH. Wahab
Hasbullah dengan KH.Abd.Halim yang
mempersoalkan tentang tujuan komite Hijaz
yang dicantumkan dalam surat
undangan. KH. Wahab menjawab, bahwa tujuan
komite ijaz adalah untuk menuntut kemerdekaan Indonesia. Menurutnya,
Umat Islam tidak bisa leluasa beribadah
di bumi Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Kia wahab menyatakan :
“
...tentu syarat nomor satu untuk menunt
kemerdekaan ( Indonesia ) .Umat Islam menuju ke jalan itu . Umat Islam
tidak leluasa beribadah sebelum negara kita Merdeka.......Kita
tidak boleh putus asa,kita yakin
tercapai negeri merdeka“. (Aula,1985)
Dapat dilihat bahwa salah satu latar belakang NU didirikan oleh para
Ulama Ahlussunnah Wal jama`ah adalah dengan
motif Nasionalisme,yakni terwujudnya
Indonesia sebagai negara merdeka. Hal ini
dilakukan terutama melalui jalur
pendidikan. Dengan Demikian Wawasan kebangsaan yang dimiliki NU dapat dilihat
dari segi sejarah sejak awal berdirinya ( Setiawan,2007:79)
2. Kedudukan Ulama dalam NU
Nama “Nahdlatul Ulama” yang berarti “Kebangkitan para Ulama” tidak
hanya secara kebetulan dipilih untuk jam’iyah ini. Pemilihan nama ini, bukan
Nahdlatul Muslimin atau Nahdlatul Ummah umpamanya, membuktikan betapa penting
dan khasnya kedudukan ulama dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Pemilihan kepada Ulama
sebagai tiang utama Nahdlatul Ulama ini didasarkan atas dua pertimbangan utama,
yaitu :
1. Sebagai
organisasi keagamaan, harus memilih kekuatan yang sentralnya pada tokoh-tokoh
yang paling kuat dan yan paling dapat dipertanggung jawabkan jiwa, mental,
ilmu, amal dan akhlak keagamaannya, yaitu para Ulama.
2. Seorang ulama yang paling kecil
lingkaran pengaruhnya pun selalu mempunyai kewibawaan dan pengaruh atas
santri/muridnya dan santri/muridnya yang sudah pulang kampung sekalipun. Bahkan
Ulama juga memiliki pengaruh dan kewibbawaan yang cukup besar dengan masyarakat
sekitarnya yang dapat menembus kelompok-kelompok organisasi, batas-batas
kedaerahan sampai jauh ke pelosok tanah air. (Shiddiq,2006:17)
3. Perangkat Organisasi NU
Untuk melaksanakan tugas tugas pokok dalam
rangka mencapai tjuan oragani
sasi, maka NU membentuk organisasi yang meliputi : Lembaga, Lajnah , dan Badan
Otonom yang merupakan bagian dari ksatuan organisasi Jam`iyyah Nahdlatul Ulma.
- Lembaga
Lembaga adalah perangkat
organisasi Nahdlatul Ulama yang berfunsi
sebagai pelaksana kebijakan NU,khususnya yang berkaitan dengan bidang
tertentu.Lembaga dapat dibentuk di semua
tingkatan NU sesuai dengan kebutuhan penanganan program dan di tetapakan oleh ermusyawaratan tertinggi. Di
tingkat Pengurus Besar, lembaga –
lembaga yang ditetapakan oleh Muktamar
NU ke 31 di Donohudan Boyolali
Jawa Tengah pada tanggal 28 November
2- Desember 2004 adalah :
1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama` ( LDNU )
2. Lemabaga Pendidikan Ma`arif Nahdlatul lama ( LP Ma`arif NU )
3. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul
Ulama ( LPK NU )
4. Rabithah Maahid Al Islamiyah ( RMI )
5. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama ( LPNU )
6. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul
Ulama ( LP2NU)
7. Lembaga kemaslahatan keluarga NahdlatulUlama
( LKKNU )
8. Lembaga Takmir Masjid Indonesia ( LTMI )
9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya
Manusia ( LAKPESDAM)
10. Lembaga Penyuluhan dan bantuan
Hukum ( LPBH NU )
11. Lembaga Seni Budaya Muslimin
Indonesia ( LESBUMI )
12. Lembaga Waqaf dan pertanahan NU
( LWPNU )
13. Lembaga Bahtsul masail ( LBM NU
)
2. Lajnah
Lajnah adalah
perangkat organisasi NU
untukmelaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang memerlukan penanganan khusus . Lajnah yang dimiliki NU antara lain
:
1 . Lajnah falakiyah ( LF NU )
2.
Lajnah Ta`lif Wan Nasyr ( LT NU )
3.
Lajnah Auqaf ( LA NU )
4.
Lajnah Zakat , infaq , dan shadaqoh
( LAZIZ NU )
5 Lajnah Bahtsul masail ( LBM NU )
3. Badan Otonom
Badan Otonom adalah perangkat organisasi untuk melaksanakan kebijakan NU yang befungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama
,khususnya yang berkaitan dengan kelompok Mayarakat tertentu
yang beranggotakan perseorangan.
Adapun badan Otonom yang dibawahi NU antyara lain :
1. Jam`iyah Ahli Thoriqoh Al mu`tabaroh An
Nahdliyyah ( JATMAN )
2. Jam`iyyatul Qurra` Wal Huffadzh ( JQH )
3. Muslimat NU
4. Gerakan Pemuda Anshor ( GP.ANSHOR )
5. Fatayat NU
6. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama ( IPNU )
7. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama ` ( IPPNU )
8. Ikatan sarjana Nahdlatul Ulama ( ISNU )
9. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia ( SARBUMUSI)
10. Pencak Silat Pagar Nusa
4.
Tingkat Kepengurusan Nahdlatul Ulama
Tingkat kepengurusan Nahdlatul
Ulama terdiri dari :
1. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
berkedudukan Ibu kota negara
2. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) berkedudukan di Propinsi atau daerah Istimewa
3. Pengurus cabang Nahdlatul Ulama ( PCNU ) yang berkedudukan di Kabupaten atau
Kota Madya
4. Pengurus Cabang Istimewa (PCINU) yang berkedudukan di Luar
negeri
5. Pengurus Majlis Wakil cabang (MWC NU)
berkedudukan di kecamatan
6. Ranting Nahdlatul ulama (PRNU) berkedudukan
di Desa atau kelurahan .
5. Basis Masa NU
Pembentukan NU sebagai
Organisasi keagamaan merupakan upaya peneguhan kembali sebuah tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan dan pola struktur yang
mapan.Lembaga –lembaga
Pesantren,Kiyai,santri,jamaah, serta perkumpulan Tarekat berpaham Ahlussunnah wal jamaah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air
sebagai unit-unit komunitas sosial
budaya masyarakat islam,telah menjadikan
NU lebih muda dalam melebarkan sayap
organisasinya. Disamping itu, pengaruh K.Hasyim Asy`ari dan KH. Wahab Hasbullah di lingkungan Pesantren cukup
kuat,sehingga ketika NU pertama
kali didirikan dan diperkenalkan, begitu mudah menarik minat dan simpati serta dukungan dari para
kiyai yang memimpin Pesantren. Hubungan
kekerabatan antar kiyai dalam lingkungan
pesantren di Jawa sangat membantu penyebaran NU sampai di daerah –daerah .
Basis masa NU pada saat ini bukan laagi hanya disisi
oleh kalangan Pesantren ,namun juga para
politisi,akademisi,pelajar, mahasiswa, aktivis LSM, dokter,Pegawai negeri,Pegawai
Swasta, Peani,nelayan,Pedagang, an lain sebagainya. Lembaga yang dimiliki NU,
yakni Lembaga Pendidikan ( LP )
Ma`arif NU, juga sedah berhasil menghasilkan beragam jenis sekolah yang tersebar di
seluruh Indonesia yang terdiri dari :
Taman kanak – kanak ,Raudlatul Athfal (RA), TPQ (Taman pendidikan Al Qur`an,
Madrasah Ibtidaiyyah (MI),Sekolah dasar (SD) Madrasah Tsanawiyah (MTs),Sekolah
Menengah pertama (SMP), Madrasah Aliyah ( MA), Sekolah Menengah Atas (SMA)
Sekolah Menengah kejuaruan (SMK),Institut Agama Islam, Sekolah Tinggi, hingga
Universitas (Perguruan tinggi).NUjuga mempunyai badab-badan sosial seperti :
Panti Asuhan, Rumah Sakit, dan pelayanan kesehatan yang tersebar di berbagai
daeraah di Indonesia.
6.
NU dan Partai Politik
Nahdlatul
Ulama Sebagai Jam`iyah juga merupakan
fenomena tersendiri dalam dunia perpolitikan di tanah air. Dilihat dari sudut
pandang kesejarahan,dapat diketahui
bagaimana NU tampil sebagai satu-satunya
partai politik yang mampu melintasi tiga
tahapan kepolitikan di Indonesia ( era
Demokrasi Liberal,era Demokrasi terpimpin,era orde Baru ) dengan prestasi yang
relatif stabil ,setidaknya dapat dilihat dari
prosentase perolehan suaranya dalam setiap pemilu.Pada Pemilu pertama di
Indonesia tahun 1955 , menjadi salah
satu bukti betapa NU mempunyai basis
masa yang cukup besar. Partai NU
memperoleh suara sekitar 18,4 % ( 45 kursi ) ,dan mejadi urutan ketiga
setelah Masyumi yang memperoleh 20,9 % ( 57 ) kursi,sementara peringkat pertama
diduduki PNI dengan perolehan suara 22,3
% ( 57 kursi ). NU tetap bertahan sebagai Partai Politik sampai akhirnya fusi 1973 memaksanya melebur diri dengan PPP.
Kiprah
NU di Partai Politik berakhir setelah
Muktamar NU ke 27 di Situbondo tahun 1984 membuat keputusan yang sangat
fenomenal dan sangat bersejarah yakni mengembalikan jati diri NU ke garis awal
NU didirikan,yang kemudian selanjutnya dikenal dengan Khittah 26.Muktamar
kemudian mengambil keputusan bahwa NU
kembali sebagai Jam`iyah Diniyyah (organisasi sosial
keagamaan) sebagaimana awal NU didirikan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memakai
penelitihan jenis kajian kepustakaan ( library research ) yaitu
penelitihan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti
mengenai suatu masalah /topik kajian.
Adapun sumber pustaka untuk bahan kajian ini dapat diambil
dari jurnal ilmiah, disertasi, skripsi,
laporan penelitian, buku teks, makalah, laporan seminar, diskusi ilmiah atau
terbitan resmi pemerintah dan lembaga-lembaga
lain. (Suharto,2008 : 212)
B.
Sumber data
Sumber data yang akan dihimpun secara
global dalam penelitian ini meliputi :
a.
Sumber data Primer
Sumber data Primer yaitu dokumen,
literatur atau buku – buku utama yang
secara langsung berhubungan dengan obyek
penelitihan, antara lain :
1.
Al Qonun Al Asasi, KH. Hasyim Asy`ari
2.
AD / ART NU
3.
Ahkamul Fuqoha ( Hasil Muktamar
dan Munas NU kesatu 1926 s/d kedua puluh sembilan 1994)
4.
Salinan Naskah Keputusan Muktamar
XXVII NU tentang Khittah Nahdlatul
Ulama
5.
Salinan Naskah Keputusan Muktamar
NU ke-28 tentang Pedoman berpolitik
Warga NU.
6.
Salinan Naskah Keputusan Munas dan Konbes NU Surabaya 30 Juli 2006
tentang dukungan NU terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
b.
Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu literatur atau buku-buku lain yang ditulis oleh tokoh atau peneliti
dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitihan ini sebagai analisis. Adapun Literatur yang termasuk dalam kajian ini, antara lain :
1. NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran,
KH.Abdul Mukhit Muzadi.
2. Dinamika Kepemimpinan NU, Moh.Shodiq.
3. Fajar Kebangunan Ulama, Lathiful Khuluq.
4. Nasionalisme NU.
5. Menjadi NU menjadi Indonesia, Ayu Sutarto
6. Demoralisasi Khittah NU dan Pembaharuan, Ahmad Nurhasim
7. Jurnal Tasywirul Afkar, Lakpesdam NU
8
Majalah AULA
9.
Islam Politik, Abdul Aziz
C. Metode Pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan cara yang
digunakan oleh seorang peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya.Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan penulis
dalam penelitihan ini adalah sebagai berikut :
1. Menghimpun
literatur yang yang berkaitan dengan objek penelitihan.
2. Mengklasifikasi buku
berdasarkan jenisnya baik primer
maupun sekunder
3. Mengutip data atau konsep lengkap dengan
sumbernya
4.
Mengkonfirmasi atau cross check
data atau teori dari sumber data atau dengan sumber lainnya dalam rangka
memperoleh keterpercayaan data.
5.
Mengelompokkan data berdasarkan
sistematuika penelitihan yang telah disiapakan
D.
Metode Analisa
Hasil penelitian akan diolah dan
dianalisa dengan metode deskriptif-historis sebagai upaya penelusuran tentang
bagaimana pandangan NU terhadap NKRI dan Pancasila.
a.. Analisis historis
Yaitu analisis yang menggunakan pendekatan
sejarah dengan memaparkan latar belakang
atau motif berdirinya Nahdlatul Ulama terutama hal-hal yang menjadi landasan pandangannya terhadap Pancasila dan
NKRI
c.
Analisis Diskriptif Yaitu Analisis
yang menguraikan secara teratur mengenai paradigma NU tentang hubungan Islam dan negara,serta
pandangan NU tehadap NKRI dan Pancasila.
IV
HASIL PENELITIHAN
A. PARADIGMA NU TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Istilah paradigma Menurut Kamus besar
bahasa Indonesia adalah memiliki
beberapa pengertian yaitu, (1) daftar dari semua pembentukan dari dari sebuah
kata yang memperlihatkan konjungsi dan
deklinasi kata tersebut, (2) model dalam teori ilmu pengetahuan, (3) kerangka
berfikir Dalam konteks ini pengertian paradigma adalah pengertian kedua dan
ketiga,yaitu kerangka berfikir Jam`iyah Nahdlatul Ulama dalam memandang
hubungan Islam dan negara..
- Pandangan NU tentang Islam
Sejak didirikannya, Nahdlatul Ulama
menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah).
Lebih dari pada itu, menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyyah
Diniyyah Islamiyyah), bukan hanya sekedar organisasi yang didirikan oleh
para pemeluk Islam untuk memperbaiki kedudukannya pada bidang tertentu saja,
umpamanya bidang politik, ekonomi atau lainnya.
Nahdlatul Ulama didirikan untuk
meningkatkan mutu pribadi-pribadi Muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan
kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya sehingga
terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmat bagi seluruh
alam (rahmatan lil ‘alamin).
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul
Ulama memiliki wawasan keagamaan, yaitu bagaimana NU memandang Islam, mahaminya, menghayatinya,
mengamalkannya dan caranya bersikap menempatkann diri sebagai pemeluk agama :
a. Islam sebagai ajaran (wahyu)
Allah Swt. Yang Maha Luhur, harus ditempatkan pada kedudukan paling luhur dan
dipelihara keluhurannya dengan mengamalkannya sesuai dengan yang dikehendaki
oleh Allah Swt.
b. Agama Islam sebagai wahyu yang diturunkan
oleh Allah Swt. Kepada Nabi Muhammad Saw. Rasul terbesar dan terakhir, harus dipahami,
dihayati dan diamalkan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh
beliau.
c. Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai sumber dari segala sumber ajaran Islam, harus dipelajari dan dipahami
melalui jalur-jalur dan saluran-saluran yang dapat dipertanggung jawabkan
kemurniannya, yaitu para Khulafa ar- Rasyidun yang merupakan tokoh-toloh paling
dekat Rasulullah Saw., para sahabat umumnya dan beberapa ge nerasi sesudahnya.
d.
Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang sangat luhur dan disampaikan secara berangsur-angsur (tidak
sekaligus meskipun mengenai sesuatu masalah, sistematikannya tidak seperti
sitematika buku pelajaran sekolah ) harus dipahami :
1). Menurut metode yang dapat
dipertanggungjawabkan kekuatannya diukur dengan prinsip-prinsip Ajaran Islam
sendiri dan dengan logika yang benar.
2). Dengan bekal perbendaharaan ilmu
yang cukup jumlah dan jenisnya.
3). Dengan landasan mental (akhlak)
dan dengan semata-mata mencari kebenaran yang diridhai oleh Allah Swt.
e. Bagi yang tidak memiliki kemampuan,
syarat dan sarananya, tersedia satu-satunya cara memahami dan mengamalkan
ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu mengikuti pendapat hasil daya pikir
tokoh-tokoh agama yang dapat dipertanggung jawabkan kemampuannya.
Di kalangan para Ulama pendiri Nahdlatul
Ulama pendiri Nahdlatul Ulama serta para pendukungnya, sudah lama terdapat
kesamaan wawasan keagamaan yang sudah melembaga dan membudaya sehingga
merupakan rangkaian perwatakan (karakteristik). Bahkan kesamaan wawasan
keagamaanini merupakan warisan dari para ulama pendahulunya berabad-abad
lamanya. Wawasan keagamaan yang sudah membudaya ini dituangkan ke dalam
Nahdlatul Ulama untuk dipelihara dan dikembangkan serta diamalkan.
(Shiddiq,2006:13)
Perumusan dan pembakuan
paradigma NU tentang hubungan antara Islam dan negara merupakan hal penting
dalam rangka menjawab persoalan mendasar umat Islam menyangkut posisi Islam
dalam negara. Paradigma NU ini akan berpengaruh cukup besar terhadap pehamanan
tentang dasar negara di Indonesia, bahkan
paradigma inilah yang mejadi dasar dari
setiap komunitas dalam menerima atau menolak Pancasila sebagai dasar
negara.
Secara umum paradigma
hubungan agama dan negara terbagi
menjadi tiga. (arif,2006:13)
a). Paradigma Integralistik
Paradigma ini memberikan
konsep tentang bersatunya agama dan negara ( Al din wal daulah ). Agama
dan negara dalam hali ini tidak dapat
dipisahkan. Menurut paradigma ini negara
merupakan lemabaga politik sekaligus
lembaga agama .Sehingga dalam wilayah agama juga wilayah politik.
Menurut paradigma ini, seorang kepala negara
merupakan seorang pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
emerintahannya diselenggarakan atas dasar “ Kedaulatan Tuhan “ yang meyakini bahwa kadaulatan berasal dari “
tangan Tuhan “ sedangakan konstitusi
yang digunakan adalah konstitusi
yang berasal dari Wahyu Tuhan.( setiawan,2007:17)
b). Paradigma Sekuleristik
Paradigma ini mempunyai konsep bahwa antara agama dan negara merupakan dua
hal yang terpisah. Paradigma ini menolak
pendasaran negara kepada
Islam,atau paling tidak menolak determenasi terhadap bentuk kenegaraan
tertentu .
c).
Paradigma Simbiotik
Paradigma
ini memiliki konsep bahwa antara agama dan negara berhubungan secara simbiotik
yaitu timbal balik yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang
lain.Dalam hal ini agama memerlukan
negara,karena dengan adanya negara maka agama bisa berkembang.Sebaliknya negara
memerlukan agama karena agama dapat memberikan bimbingan dalam bentuk etika dan
moral serta nilai-nilai kebaikan sehingga negara dapat berkembang dengan baik .
NU dikenal sebagai
organisasi keagamaan yang bercorak kebangsaan. Kelahiran NU juga didorong oleh
semangat kebangsaan yang tinggi. Para ulama dan warga NU juga dikenal memiliki
sikap yang moderat dalam menjalankan agamanya. Mereka memiliki rasa nasionalisme
yang tinggi meskipun kecintaan mereka terhadap agamanya juga besar. Kaum
Nahdliyyin mengikuti ajaran Walisongo tentang pentingnya mencintai tanah air,
bangsa dan negara. Dasar pijakan yang dipegang oleh kaum Nahdliyyin adalah
sebuah pandangan yang menyatakan bahwa “ cinta tanah air dan bangsa adalah
bagian dari iman” (hubbul-wathan min al iman).
2. Pandangan NU tentang Negara
Dalam hal mendirikan sebuah
negara, keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1997 di Lombok
menetapkan bahwa membangun negara /
imamah adalah wajib syar’i. NU memiliki pandangan bahwa pemerintahan
dalam suatu negara merupakan sunnatullah yang mesti terwujud secara syar’i
maupun aqli untuk menjaga kedaulatan, mengatur tata kehidupan, melindungi
hak-hak setiap warga negaranya dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Kekuasaan
dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang mandat dari
rakyat, mengandung amanah rakyat sekaligus juga amanah ketuhanan yang kelak
akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah swt., sehingga kekuasaan dan
kewenangan tersebut harus didasari oleh rasa tanggungjawab ketuhanan dan
dilaksanakan sesuai dengan tuntutan moral agama.
Mengenai bentuk negara,
pendiri NU, K.H. M. Hasyim Asy’ari memiliki pandangan bahwa mendirikan negara
Islam bukanlah suatu kewajiban bagi umat islam. Kiai Hasyim menyatakan :
Bentuk pemerintahan Islam tidak
ditentukan. Ketika yang kita hormati Nabi Muhammad meninggal dunia, beliau
tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai bagaimana memilih kepala negara....,
jadi, pemilihan kepala negara dan banyak lagi mengenai kenegaraan tidak
ditentukan dan dapat dilaksanakan tidak terikat untuk mengikuti suatu sistem.
Semua(sistem) dapat dilaksanakan pada masyarakat Islam pada setiap tempat. “ (Khuluq,2000:27)
Dari pandangan K.H. M.
Hasyim Asy’ari tersebut, dapat diketahui bahwa sejak dulu NU menolak tentang
pendirian negara Islam di Indonesia. Tampak jelas bahwa NU dan para pemimpinnya
menerima bentuk negara Indonesia yang pluralistik serta memutuskan bahwa negara
islam tidak diperlukan bagi bangsa Indonesia
3. Paradigma NU tentang hubungan Islam
dan negara
Secara umum, paradigma NU
tentang hubungan antara Islam dan negara dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor yang pertama
yang dominan adalah paham keagamaan yang dianut NU, yakni paham Ahlussunah
wal jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli
(rasionalis) dengan ekstrem naqli ( skripturalis ). Oleh karena itu, sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya AL-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi, kemudian dalam fikih mengikuti empat Madzhab:
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawwuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Faktor kedua adalah
dasar pemikiran politik NU.
Dasar
pemikiran politik NU terutama dipengaruhi oleh paham keagamaan yang dianutnya,
yakni ahlussunnah wal jama’ah (Sunni) yang tergabung dalam wadah organisasi NU
juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali.
Dalam
teori politik Sunni terdapat 5 prinsip yang dipegang teguh, meliputi: tauhid
(ketuhanan), al-syura (musyawarah), al’adalah (keadilan), al-hurriyah
(kebebasan), dan al-masawah (kesetaraan). Kelima prinsip tersebut juga
dipegang teguh oleh NU sebagai organisasinya kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah
(Sunni) Indonesia.
Ø Prinsip ketuhanan.
Prinsip
ketuhanan dalam kehidupan politik merupakan suatu yang mutlak bagi NU. Dalam
bentuk praksisnya, NU tidak membatasi format perwujudan prinsip ketuhanan
tersebut dalam bentuk pemerintahan atau negara secara khusus.
Prinsip
ketuhanan telah tercermin jelas dalam mukadimah Anggaran Dasar NU yang disahkan
dalam Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Solo tahun 2004. Tercatat dalam mukadimah
sebagai berikut :
“Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umat Islam merupakan
keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai aqidah Islam yang meyakini
bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
NU
memiliki pandangan bahwa kekuasaan dan kewenangan negara (pemerintah) selain
mengandung amanat rakyat juga mengandung amanat ketuhanan yang kelak akan
dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah swt.
Ø Prinsip Musyawarah
Teori
politik Sunni yang membahas tentang mekanisme pemerintahan sangat mengedepankan
tentang prinsip musyawarah (al-syura).
Dalam
Muktamar NU ke-30 di Kediri tahun 1999, didefinisikan tentang prinsip
musyawarah (al-syura) sebaga”pengambilan keputusan dengan
mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan bersama, baik
secara langsung maupun perwakilan. Berdasarkan
definisi tersebut, dapat dilihat bahwa NU memegang prinsip bahwa dalam
setiap pengambilan keputusan harus melibatkan seluruh unsur yang ada dalam
masyarakat, baik itu dilakukan sercara langsung maupun perwakilan.
Ø Prinsip Keadilan
Keadilan
merupakan salah satu tema penting dalam ajaran islam. Rais ‘Am PBNU, DR.K.H.M.A.
Sahal Mahfudh mendefinisikan keadilan berarti “menegakkan kebenaran dan
kejujuran, serta belas kasih dan solidaritas.”
Menurut Kiai Sahal, keadilan mempunyai abstraksi yang sangat luas,
sehingga sering terjadi perbedaan ukuran antara pimpinan dan yang dipimpin
dalam memandang tentang keadilan.
Dalam
salah satu hasil keputusan Muktamar NU ke-30 di kediri tahun 1999 didefinisikan
tentang prinsip keadilan (al-‘adalah) adalah:
Menetapkan suatu keputusan baik berupa
hukum, peraturan, maupun kebijakan sesuai dengan hakikat kebenaran objektif
tanpa didasari pandangan dan kepentingan subjektif dan tidak bertentangan
dengan al-Mabadi’ al-Khamsah.
Ø Prinsip Kebebasan
Prinsip
kebebasan bagi NU diartikan sebagai suatu jaminan bagi setiap orang untuk
menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik, bertanggung jawab dan perilaku
yang mulia ( al-akhlaq al-karimah).
Ketua
PBNU, Prof. Dr. K.H. Said agil Siradj, M.A. menyatakan bahwa kebebasan pada
hakikatnya adalah suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melaksanakan
hak-hak mereka. Hak-hak dasar tersebut dalam hukum islamdisebut dengan ushul
al-khams atau al-dharuriyyat al-khams (lima prinsip pokok yang
menjadi kebutuhan primer). Kelima prinsip tersebut antara lain : menjaga jiwa (hifzh
an-nafs), menjaga agama (hifzh ad-din), menjaga akal (hifzh
al-‘aql), menjaga harta (hifzh al-mal), menjaga keturunan (hifzh
an-nasl). Kelima prinsip tersebut juga sering didentifikasi sebagai bagian
dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dijaga dan ditegakkan.(Zudi
setiawan,2007:21)
Ø Prinsip Kesetaraan
Prinsip kesetaraan
menurut NU adalah suatu pandangan bahwa setiap orang atau individu mempunyai
kedudukan yang sama tanpa adanya diskriminasi karena kesukuan, ras, agama, jenis kelamin, kedudukan, kelas sosial dan lain-lain.
Secara
umum, prinsip kesetaraan ini meliputi sikap saling menghormati terhadap segala
bentuk perbedaan, baik berdasarkan suku, ras, agama, gender, budaya, atau
golongan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, NU menerapkan
prinsip kesetaraan dalam bentuk perlakuan yang sama terhadap semua warga negara
tanpa adanya diskriminasi.
Kelima
prinsip tersebut di atas dan juga paham ahlussunnah wal jama’ah telah menjadi
dasar pemikiran politik NU selama ini. Dengan mengetahui dasar pemikiran
politik NU tersebut, maka akan lebih mudah dalam menganalisis setiap kebijjakan
politik yang diambil oleh NU.
Faktor ketiga adalah kondisi objektif
bangsa Indonesia yang plural. Secara fisik, kepulauan Nusantara terdiri lebih
dari 13.000 pulau, baik besar maupun kecil. Selain itu, Indonesia terdiri dari
berbagai suku bangsa, bahasa, adat istiadat, serta agama yang menunjukkan
betapa tingginya tingkat kemajemukan sosial-budaya di Indonesia. Perkembangan
sejarah dan kebudayaan Indonesia tak bisa dilepaskan dari sentuhan dan pengaruh agama-agama yang ada dan berkembang di berbagai daerah .
Kehadiran agama –agama besar seperti Hindu , Budha , Islam dan nasrani memberikan warna tersendiri bagi kemajemukan agama di Indonesia.
Dari
seluruh paparan di atas,tampak jelas bahwa
menurut paradigma NU,landasan pelaksanaan negara tidak bisa lepas dari
nilai-nilai agama. Bagi NU,Nasionalitas
adalah keniscayaan dalam peradaban
manusia di bumi. Dengan demikian,Paradigma NU tentang hubungan Islam dan negara
adalah bersifat Simbiotik (Symbiotic paradigm) yang memiliki konsep bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik
yaitu,hubungan timbal balik yang saling
membutuhkan satu sama lain. Dalam hal ini agama memerlukan negara,karena dengan
adanya negara maka agama bisa berkembang. Sebaliknya ,negara memerlukan agama
karena agama dapat membimbing dalam
bentuk etika dan moral serta nilai
kebaikan sehingga negara dapat berkembang
.
- PANCASILA DAN NKRI DALAM PANDANGAN NU
Kewajiban hidup bernegara merupakan
suatu hal yang final bagi NU. Hal ini digambarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid
(mantan Presiden RI dan Ketua umum PBNU ) dalam salah satu tulisannya sebagai
berikut :
Kewajiban hidup
bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh
ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah
sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepas dari prilaku pemegang
kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang
kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan.
Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu
bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah
utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. (Wahid,2000:156)
Pola
pemikiran seperti inilah yang membuat NU cenderung mendukung dan bersikap taat
kepada kebijakan pemerintah. Di samping itu, NU juga menolak tuntutan
pembentukan negara Islam ataupun pen-dasaran negara pada Islam di Indonesia. NU
justru menyatakan bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu bentuk negara yang final dan
harus dipertahankan serta terus dilestarikan.
Disamping
sebagai jam`iyah diniyyah ( Keagamaan ) yang berasas Islam Ahlussunnah Wal Jama`ah,Nahdlatul Ulama juga
tidak bisa dilepaskan dengan komitmen kebangsaannya. Karena itu NU menjadikan Pancasila sebagai asasnya dalam
kehidupan berbangasa dan bernegara. Hal ini bisa dilihat dalam Anggaran Dasar dan Aturan Rumah Tangga (AD/ART) Nahdlatul
Ulama Bab II Pasal 3 tentang aqidah dan asas organisasi yang berbunyi :
1. Nahdlatul
Ulama sebagai Jam'iyah Diniyah Islamiyah beraqidah/berasas Islam
2. Menganut
faham Ahlusunnah wal Jama'ah dan menurut salah satu dari Madzhab Empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
3. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, NAHDLATUL ULAMA berdasarkepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keberadaan
NU sebagai bagian integral dari bangsa dan negara, senatiasa menyatukan diri dengan perjuangan
bangsa. NU secara sadar mengambil posisi yang aktif mangambil bagian
pembangunan bangsa untuk menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlohi Allah
SWT. Karena itu warga NU harus menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. (Muzadi,2006:43)
Pancasila adalah dasar Republik
Indonesia. Hal ini dicantumkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan oleh PPKI .
Menurut pandangan Kiyai Mukhit Muzadi ( salah seorang Musytasar NU),
Memang kalau diucapkan Pancasila rasanya dapat
dianggap bertentangan dengan Islam,
setidak tidaknya tidak Islami. Tapi kalau Pancasila yang lima dasar itu digelar
menjadi : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan dan Kadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
maka tidak ada satupun yang bertentangan
dengan Islam, bahkan pancasila merupakan
bagian-bagian ( Juz`iyyah ) dari
butir-butir ajaran Islam “. (Mukhit,2006:23)
Prinsip ketuhanan dalam Pancasila yang merupakan pokok perdebatan sengit antara kalangan nasionalis Islam dan
nasionalis sekular sejak sebelum
kemerdekaan diselesaikan secara
tuntas oleh NU dengan menyatakan bahwa sila itu merupakan cerminan tauhid
Islam.
Sila
Ketuhanan yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau
menggambarkan apa yang diinginkan oleh
Tauhid Islam. KH.Ahmad Siddiq yang sejak
Muktamar 1984 terpilih sebagai Rois Am,orang yang boleh
dikatakan sebagai konseptor utama munas
NU 1983 dan perumusan kermbali ke
khittah NU 26. Dalam makalahnya yang disampaikan dalam muktamar NU 27 di Situbondo KH.Ahmad Shiddiq mengatakan :
a.
Sila Ketuhan
Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah ,yang dikenal
sebagai tauhid.
b.
Adapun
pencantuman anak kalimat “ Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa “ pada pembukaan UUD 1945,menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam
kihidupan bernegara kita sebagai bangsa. (Martahan,2007:61)
Kiyai Mukhit Muzadi berpendapat, bahwa Menjadi NU berati menerima
Pancasila sebagai dasar negara dan
bersedia mengamalkannya dengan ikhlas.Sedangakan menurut KH.Musthofa Bisri,Orang
NU adalah umat Islam yang berada di indonesia,karena itu warga NU harus
memakmurkan Indonesia sebagai rumah besarnya.
Sikap keagamaan NU seperti di atas dapat dipahami melalui pola pemikiran Al Ghazali. NU tidak bersikap antitesis terhadap suatu nilai masyarakat,Sepanjang
sutu sistem di dalam masyarakat itu tidak bertentetangan dengan keyakinan
Islam,maka ia mempunyai potensi untuk
diarahakan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam (Martahan,2007:43)
Modal utama bagi NU
dalam menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah ajaran ahlussunnah waljama`ah yang dibawa oleh para
Wali Songo dengan sikap adaptasi dengan tradisi lokal di Indonesia,
sepanjang tidak bersinggungan dengan
persoalan yang mendasar tentang aqidah Islam.
Bekal utama yang juga sangat
berharga dan berpengaruh bagi Ulama NU
sebagai sumber rujukan dalam penerimaanya terhadap Pancasila sebagi dasar negara, adalah kekayaannya akan litearur-literatur Islam
klasik ( kitab kunig ) khususnya dalam hal persolaan kenegaraan sebagai khazanah pemikiran Islam. Ktiab-kitab
tersebut seperti Ahkamu Al Shulthoniyyah karya AL mawardi, Tarikh al – Uman Wa Al muluk, karya Al Thobari,Al Bidayah Wan Nihayah ,karya Imam
Ibnu Katsir,Sirah Annabawiyyah ,karya Ibnu Hisyam,Al Kamil Fil
Tarikh , karya Ibnu Al Atsir,Sulukul malik Fi tadribil Mamalik, karya Ibnu
Arabi, dan lain sebagainya.
Dengan kelengakapan dan kecakapan Intelektual yang
dimiliknya,seperti Ilmu Ushul Fikih,Qowa`id Al Fiqhiyyah,Qowaidul Lughoh,Ilmul
Balaghoh,Ilmu Al ma`ani, Ilmu Ijaroh Wal ta`dil , dan lain-lain, banyak
kiyai yang sanggup melakukan kontekstualisasi terhadap kitab kuning . Dengan
kerangaka dan methodologi yang
sedemikian rupa,Para Kiyai di Pesantren tidak mengusulkan berdirinya negara
Islam. Mereka mempunyai konsep tersendiri
menyeleksi mana tafsir keagamaan
yang relefan dengan untuk diterapkan dalam konteks sekarang dan mana yang
problematik. Para Kiyai NU senantiasa
memelihara teks-teks dan tradisi lama yang bermaslahat, namun tidak ada
keraguan pula untuk mengambil pandangan –pandangan baru yang lebih maslahat . Al Muhafazdah
ala Al Qodimi Al sholih Wal Akhdhu bi al jadidi Al Ashlah .
Sebelum Nahdlatul Ulama`berdiri pada tahun 1926 di Surabya,
KH.Wahab Hasbullah mendirikan
organaisasi yang bernama “ Nahdlatul Wathan” ( Kebangkitan Tanah Air ). Ini merupakan lembaga
pendidikan yang dibentuk Kiyai Wahab Hasbullah bersama Mas mansoer, seorang
aktifis yang pernah menempuh pendidikan di Kairo. Nahdlatul wathan adalah lembaga pendidikan
yang bercorak nasionalis moderat yang
didirikan pada tahun 1914.
Nahdlatul Wathan merupkan salah satu
embrio dari Jam`iyah Nahdlatul Ulama`.Karena itu,dapat dilihat di sini bahwa berdirinya NU didorong oleh rasa patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. Melalui
pendidikan Nahdlatul wathan ini,
pendidikan kasadaran akan cinta tanah air dan nasionalisme dibangun.
Berkembangnya lembaga ini dapat dirasakan sesudah itu dengan berdirinya organisasi pemuda “ Syubbanul Wathan” ( Pemuda tanah air
) yang juga didirikan oleh KH.Wahab Hasbullah pada awal 1920. Dalam Organisasi
Syubbanul Wathan ini para pemuda dididik sehinnga mempunyai jiwa intelektual dan rasa nasionalisme yang
tinggi
Dalam perkembangan sejarah Indonesia
selanjutnya, Nahdlatul Ulama`, berpandangan bahwa mempertahankan negara
merupakan suatu kewajiban. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan KH.Ahmad
Shiddiq dalam makalahnya yang berjudul
“Khittah Nahdliyyah” sebagai berikut:
a. Negara nasional ( yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dipertahankan dan eksistensinya .
b.Penguasa ( Pemerintah ) yang sah harus
ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati ,selama tidak menyeleweng
,dan atau memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan
Allah.
c.
Kalau
terjadi kesalahan dari pihak pemerintah,cara memperingatkannya melalui tata cara yang sebaik-baiknya.
(Shiddiq,2006:66)
Sebagai
Jam`iyah yang berada di antara arus
gerakan formalisasi Syariat Islam pada era reformasi sekarang ini, NU kembali
membuat ketetapan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan
bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini. Hal ini sebagaimana telah
ditetapkan dalam keputusa Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Solo tahun 2004
tentang Taushiyah Muktamar di bidang politik nasional, yang berbunyi :
Dalam situasi sekarang
penguatan komitmen kebangsaan tidak bisa dijalankan dengan cara paksaan apalagi
kekerasan, tetapi perlu strategi kebudayaan baru untuk menata hubungan sosial
dan hubungan antar bangsa berdasarkan kesetaraan dan kesukarelaan, sehingga
solidaritas sosial dan solidaritas kebangsaan bisa diwujudkan. Bagi warga
Nahdliyyin, Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk final dari
sistem kebangsaan
NU sangat kontra
dengan upaya-upaya kelompok yang mengupayakan ideologi lain sebagai dasar
negara. Hal ini sebagaimana yang
dikatakan oleh Ketua PBNU, KH.Said Aqil
Siraj “ Jika ada Warga NU yang mengupayakan penggantian Pancasila dengan ideologi lain, maka ia tak hana menginginkan
Indonesia bercerai berai , tatapi ia juga telah berkhianat kepada KH.Abdul
Wahid Hayim ( Putra Kiyai Hasyim, pendiri NU )
sebagai salah satu perumus Pancasila. Dalam BPUPKI . ( www.nu .or.id ,29 Mei 2009)
Dalam
melihat fenomena upaya penggantian
pancasila sebagai dasar negara,Muqshit Ghozai di NU Online menceritakan tentang
sikap Almarhum Kiyai As`ad Syamsul Arifin, Situbondo. Tujuh belas tahun yang lalu, di dalam
pertemuan di Aula Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi`iyah Asem bagus Situbondo,dengan suara lantang dan
bergetar membaca Al Qur`an surat Taha
,17 – 21,Kiyai as`ad mengumpamakam NU
sebagai “ Tongkat Musa “ yang siap melawan pihak-pihak yang merongrong ke utuhan NKRI. ( www.nu .or.id ,29 Mei 2009)
Persoalan
yang sama juga dikemukakan oleh Ketua umum PBNU,KH.Hasyim Muzadi. Ia mengatakan
: “ Selama Penduduk Indonesia ini masih plural, maka Pancasila tetap menjadi
ideologi negara karena ia dilahirkan
melalui kesepakatan politik bersama. Sebab bagi NU konsensus ini
dipertahankan agar bangsa Indonesia
tidak retak, tidak mengalami disintegrasi. Kalau sedikit saja terjadi
disintegrasi nasional, maka sulit
dibayangkan bagaimana cara menyelesaikan
masalahnya ( www.nu .or.id ,29 Mei
2009)
Sebagaimana yang dilansir oleh NU online pada
tanggal 24 & 25 April 2007, PBNU juga meminta masyarakat Indonesia
berhati-hati terhadap gerakan transnasional yang berkembang di Indonesia.
Gerakan ini dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD
1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menyebut Hizbut Tahrir,
Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political
movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi
kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Menurut Hasyim,
organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik
dan bukan sebagai jalan hidup. Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya
tendensi formalisasi agama sebagai indikator dari gerakan mereka itu. Padahal,
tegas Hasyim, yang dilakukan mestinya bukan formalisasi melainkan
substansialisasi agama.
NU berupaya untuk
mengukuhkan kembali komitmen kebangsaan yang mulai pudar yang diakibatkan oleh situasi krisis dan
semangat reformasi yang berlebihan. Situasi dan kondisi tersebut tidak hanya
mengakibatkan hilangnya integritas bangsa dengan munculnya gerakan federalisme
bahkan separatisme yang mengancam kesatuan nasional RI, tetapi juga
menghancurkan tertib dan struktur sosial yang sudah mapan, sehingga merusak
relasi sosial, yang kemudian memunculkan rasa saling curiga dan saling membenci
yang berujung pada terjadinya konflik sosial.
Nahdlatul
Ulama memandang bahwa NKRI sebagai hasil
kesepakatan seluruh bangsa Indonesia,dimana kaum muslim, terlibat dalam
termasuk kaum Nahdliyyin terlibat dalam kesepakatan tersebut melalui para pemimpin dan wakilnya. Oleh
karenanya, NKRI harus dipertahankan
kelestariannya karena merupakan upaya final,dalam arti tidak akan
berusaha mendirikan negara lain selain NKRI. (Ayu Sutarto,2008:4)
Perkembangan
NU pada era Reformasi saat ini menunjukkan bahwa NU masih mencantumkan
Pancasila, disamping juga Islam Ahlussunnah wal jama’ah, sebagai aqidah/ asas
organisasi. Mengenai hal ini telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar (AD) NU
hasil Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Solo pada tahun 2004.
Sejak
dulu hingga sekarang, NU terus mempertahankan
Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia dan
keutuhan NKRI. Bahkan, peran penting NU dalam mempertahankan keutuhan
NKRI dan dasar negara Pancasila ini diakui oleh Presiden RI keenam, DR. Susilo
Bambang Yudoyono. Ia mengungkapkan bahwa terdapat empat konsensus Indonesia
yang meliputi Pancasila, UUD 1945, negara kesatuan dan Bhineka Tunggal Ika.
Menurut Yudhoyono, dari sekian banyak komponen bangsa, NU lah yang paling
konsisten dalam mempertahankan konsensus tersebut supaya tetap utuh dan
selamat. (Setiawan,2007:31)
1 . Penerimaan NU
terhadap Pancasila sebagai Asas tunggal
Pada
masa Orde Baru, pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi
kekuatan sosial dan politik di Indonesia. Pada tanggal 19 Pebruari 1985,
pemerintah dengan persetujuan DPR mengeluarkan Undang-undang No. 3/1985 yang
menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerimaPancasila
sebagai asas tunggal. Kebijakan ini dilanjutkan dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 8/1985 tentang ormas pada tanggal 17 Juni 1985. Undang-undang
ini menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan
Pancasila sebagai asas tunggal. Saat itu, NU menjadi pelopor awal untuk
menerima Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi sosial keagamaan dan
partai politik. Langkah NU ini kemudian diikuti oleh segenap elemen bangsa yang
lain.
Marthan
Sitompul berpendapat ,Penerimaan NU atas Pancasila bukanlah akibat dari tekanan
pihak eksternal dan bukan penerimaan yang terpaksa,juga bukan penerimaan yang
bersfat oportunis terhadap kekuasaan. Tapi penerimaan yang positif karena Pancasila telah dinilai sah
berdasarkan theologi Islam dan berlansdaskan dalil-dali pendapat
tradisional Islam Disinilah keunggulan
golongan tradisional, NU mempunyai kekayaan rujukan untuk menaggapi sesuatu perkembangan dan
tidak mudah jatuh terhadap sikap mutlak-mutlakan. (Marthan,2007:1)
Menurut
Kiyai Mukhit Muzadi, NU dapat menerima Pancasila sebagai asas tunggal dengan berapa pertimbangan
antara lain : Pertama, sejak semula didirikan, NU tidak
mencantumkan asas organisasi ( Jam`iyah ),melainkan menyebut tujuan. NU
mencantumkan asas Islam, ketika NU menjadi Partai Politik ( 1952 ), seperti halnya partai-partai yang
lain mencamtumkan ideologinya, Kedua, Menurut NU, Islam bukanlah
ideologi. Islam adalah agama
Allah,sedang Ideologi adalah hasil
pemikiran manusia. Ketiga,
Asas suatu organisasi tidak harus agamanya. Boleh asas itu
kerakyatan,keadilan, kekeluargaan dan sebagainya. (Muzadi,2007:75)
Menurut
Kiai Achmad Shiddiq, pada saat Islam dicantumkan sebagai asas organisasi, maka
hal itu diartikan Islam sebagai ideologi, bukan dalam arti agama. Asas hanya
merupakan simbol ideologi, bukan agama itu sendiri. Orang Islam boleh
berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam sebagai agama. Kata
Kiai Achmad,”Ibarat makanan, Pancasila sudah kita kunyah selama 38 tahun; kok
sekarang kita persoalkan halal dan haramnya.”Kiai Achmad juga menyatakan :
Bagi NU, Republik
Indonesia merupakan bentuk final dari upaya seluruh bangsa Indonesia. Sebuah
gambaran masyarakat yang dicita-citakan NU adalah masyarakat Pancasila yang
sosialistis-religius. Masyarakat Indonesia di masa mendatang adalah masyarakat
Pancasila. Dalam masyarakat Pancasila kita masukkan nilai-nilai agama. Jadi
tidak usah nama, yang penting isinya.
Pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU
di Situbondo tahun 1983, K.H. Achmad Siddiq mempresentasikan makalah yang
kemudian menjadi acuan bagi keputusan Munas yang melahirkan deklarasi tentang
hubungan Pancasila dan Islam yang berisi :
1.
Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak
daapat mengantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk mengganti kedudukan
agama.
2.
Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1)
UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan dalam Islam.
3.
Bagi Nahdlatul
Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan
Allah dan hubungan antar manusia.
4.
Penerimaan dan
pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk
menjalankan syariat agamanya.
5.
Sebagai
konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak
C . PRAKSIS KEBANGSAAN NU DALAM MENDUKUNG PANCASILA DAN NKRI
Praksis kebangsaan (
Nasionalisme ) NU yang dijalani NU
selama ini memang telah melahirkan sebuah pandangan bahwa NU adalah organisasi yang selalu membela dan mencintai tanah Airnya.Dalam catatan
sejarah,tingginya Nasionalisme Nu tidak bisa diragukan lagi. Dasar yang
digunakan sebagai pijakan bagi para Ulama NU
dalam membela tanah airnya adalah
sebuah prinsip yang menyatakan
bahwa “ cinta tanah air merupkan bagian
dari iman “(Hubbul Wathan Minal Iman ). NU telah menampilkan citra
dirinya sebagai organisasi ke-Islaman –
an yang bercorak kebangsaan. Adapun sikap dan perilaku Nasionalisme NU dapat dibuktikan
dengan sebagian contoh antara lain :
1.
Resolusi / Fatwa Jihad
Adanya kewajiban fikih untuk melestarikan tanah air Indonesia telah memberikan
legitimasi bagi munculnya tokoh-tokoh NU
yang turut aktif dalam dunia perjuangan melawan penjajahan.
Pada tanggal 22 Oktober
1945, delapan minggu setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, terjadi peperangan di Surabaya. Untuk memobilisir
dukungan umat islam, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia. Fatwa tersebut sebagai berikut :
(I),Kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan, (2) Republik
Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan
ditolong; (3) Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia
dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan
militer untuk menjajah kembali Indonesia, (4) Umat Islam terutama anggota NU
harus mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutunya yang ingin menjajah
Indonesia kembali, (5) Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan
merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer,
sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara
material terhadap mereka yang berjuang. (khuluq,2000.27)
Fatwa ini kemudian
dibutuhkan oleh segenap ulama yang mengadakan pertemuan di Surabaya pada
November 1945 yang menyatakan kembali pendapat mereka bahwa kemerdekaan
Indonesia harus dipertahankan dan Republik Indonesia dalah satu-satunya
pemerintahan yang sah yang harus dilindungi meskipun dengan mengorbankan harta
dan nyawa. Para ulama juga memutuskan bahwa pergi berhaji dengan menggunakan
kapal belanda adalah terlarang. Fatwa tersebut juga dikuatkan dengan karisma K.H.
Hasyim Asy’ari dan perlunya berperang melawan orang-orang kafir. Jadi, perang kemerdekaan dipandang sebagai
perang suci di Jalan Allah ( Jihad fi sabilillah) dan barang siapa yang
mati dalam perang ini dijamin masuk surga. Sampai sekarang, perang ini masih
dipandang sebagai perang terbesar dalam sejarah Indonesia modern sehingga 10
November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Akhirnya, dapat dilihat bahwa fatwa
ini merupakan contoh yang paling jelas mengenai usaha para ualama NU untuk
memperjuankan Bangsa Indonesia dari kolonialisme.Ideologi Jihad memainkan
peranan yang sangat penting dalam
gerakan anti kolonial.Ideologi ini telah mendorong muslim santri untuk bergabung dalam Hizbullah
dan Sabilillah yang dibentuk di
masa pendudukan Jepang..
2. Penetapan Soekarno sebagai Waliyyul
Amri Dharuri Syaukah.
Penetapan Presiden Soekarno
sebagai Waliy al-Amri al-Dharuri bi al-Syaukah (pemegang kekuasaan yang
darurat dengan sebab mempunyai kekuatan) ditetapkan berdasarkan keputusan
Koferensi Alim Ulama di Cipanas pada tahun 1954. Konferensi tersebut
diprakarsai oleh Menteri Agama RI,K.H. Masjkur yang merupakan tokoh NU.
Keputusan tersebut kemudian dikuatkan dalam salah satu hasil keputusan pada
Muktamar NU ke-20 di Surabaya pada tahun 1954.
Masyumi
memprotes keputusan tersebut karena dianggapnya kurang tepat dan merupakan bencana bagi perjuangan Islam.
Namun KH,Wahab hasbullah menangkis bahwa pemberian gelar tersebut mempunyai landasan fiqih yang cukup kuat yakni bahwa wanita Islam yang tidak mempunyai Wali nasab, perlu
dikawinkan di depan wali hakim,supaya anaknya tidak menjadi anak zina.Karena
itu ditetapkan bahwa yang harus menjadi
wali hakim pada masa ini adalah kepala negara, yang kemudian diwakili oleh
pejabat . (Aziz,2006:43)
Keputusan ini menunjukkan
bahwa NU turut andil dalam menegakkan dan menjaga keutuhan NKRI. Pada saat itu,
NKRI digoncang oleh kekuatan DI/TII dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Secara umum,
Kartosuwiryo dan kelompoknya menuntut dua hal, yakni pertama, supaya
NKRI dijadikan negara Islam Indonesia. Kedua, menuntut agar kepemimpinan
Soekarno dianggap tidak sah. Dua tuntutan ini satu sama lain memiliki kaitan
yang erat, dan NU dengan tegas menolak dua tuntutan tersebut. Sikap ini menjadi
bukti bahwa para kiai NU mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi.
3. Maklumat NU untuk
mendukung Pancasila,UUD 1945 dan NKRI
Untuk
semakin memperjelas mengenai sikap NU terhadap maraknya gerakan formalisasi
syariat Islam yang pada ujungnya berupaya mendirikan negara Islam di Indonesia
yang sangat berpontensi mengancam kesatuan
NKRI dan Pancasila, maka pada Forum Musyawarah Nasional Alim Ulama dan
Konferensi Besar Nahdlatul Ulama pada tanggal 28-30 Juli 2006 di Surabaya
dikeluarkan maklumat untuk mendukung Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Dalam
maklumat tersebut diantaranya disebutkan bahwa NU bertekad meneguhkan kembali
komitmen kebangsaannya untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD
1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peneguhan ini perlu
dilakukan karena menurut NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final
umat Islam dan seluruh bangsa, Berikut ini isi Maklumat Nahdlatul Ulama untuk
mendukung Pancasila, UUD 1945, dan NKRI :
Maklumat Nahdlatul Ulama
Bahwa sepanjang sejarah
Republik Indonesia, setiap upaya mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi
negara apalagi upaya untuk menggantikannya, terbukti senantiasa menimbulkan
perpecahan di kalangan bangsa dan secara realistis tidak menguntungkan umat
Islam sebagai mayoritas bangsa. Hingga kini, Pancasila sebagai ideologi negara
masih tetap merupakan satu-satunya ideologi yang secara dinamis dan harmonis
dapat menampung nilai-nilai keanekaragaman agama maupun budaya, sehingga
Indonesia kokoh dan utuh tidak terjebak menjadi negara agama (teokrasi) maupun
menjadi negara sekuler yang mengabaikan nilai-nilai agama.
Dewasa ini, mulai terasa
upaya menarik Pancasila ke kiri dan ke kana, yang apabila tidak diwaspadai oleh
seluruh komponen bangsa dan membahayakan dan menggoyahkan eksistensi dan posisi
Pancasila itu sendiri.
Gerakan reformasi yang
melahirkan amandemen terhadap UUD 1945, diakui telah banyak menyumbangkan
demokrasi dan kebebasan hak asasi, namun dirasakan pula bahwa reformasi juga
melahirkan problem-problem tertentu, maka wajar kalau reformasi direnungkan
kembali.
Pancasila sebagai landasan
yang berkerangka UUD 1945 melahirkan ketatanegaraan yang diwadahi dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh karenanya maka sistem otonomi khusus
sama sekali tidak boleh menjurus kepada disintegrasi bangsa, apalagi pemisahan
kewilayahan.
Perjauangan menegakkan
agama dalam negara Pancasila har uslah ditata dengan prinsip kearifan, tidak
boleh menghadapkan agama terhadap negara atau sebaliknya, tetapi dengan
meletakkan agama sebagai sumber aspirasi serta menyumbangkan tata nilai agama
yang kemudian diproses memalui prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap
seluruh kepentingan bangsa. Sedangkan masing-masing agama di Indonesia dapat
melakukan kegiatannya dengan leluasa dalam dimensi kepasyarakatan (civil
socity).
Maka dengan ini, Nahdlatul
Ulama :
MENEGUHKAN KEMBALI
KOMITMEN
KEBANGSAANNYA UNTUK
MEMPERTAHANKAN
DAN MENGEMBANGKAN PANCASILA DAN
UUD 1945 DALAM WADAH NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
Peneguhan ini dilakukan
karena menurut NU, Pancasila UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final Umat Islam
dan seluruh bangsa.
Ditetapkan dalam Munas dan
Konbes NU di SURABAYA, 30 Juli 2006
Rais Aam PBNU,
Ketua Umum PBNU
DR. K.H. M.A Sahal Mahfudh KH. Hasym Muzadi
Dengan demikian, setiap
langkah maupun kebijakan yang diambil oleh NU selalu didasari semangat
nasionalisme. Kebijakan NU yang menyatakan bahwa kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), Pancasila, dan UUD 1945 merupakan bentuk final dalam sistem kebangsaan,
dan akan terus dipertahankan kelestariaannya, telah menjadi salah satu bukti
bahwa NU memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. (Setiawan,2007:258)
D. ANALISA TENTANG
PANCASILA DAN NKRI DALAM PANDANGAN
NAHDLATUL ULAMA
Sebagaimna yang tertulis dalam
sejarah,sejak awal kelahirannya, Pancasila dimaksudkan sebagai dasar negara yang mampu mengikat semua elemen bangsa
yang terdiri dari berbagai macam unsur budaya, etnis, dan agama
untuk mendirikan suatu negara persatuan dan kesatuan yang bedaulat. Dalam perjalanannya sebagai dasar
negara, Pancasila ternyata mengundang banyak perdebatan
berkepanjangan bahkan sampai menimbulkan pemberontakan secara fisik yang tentu
saja memakan korban yang tidak bisa
dikatakan sedikit.
Sejarah telah mencatat, setidaknya ada dua
kelompok yang saling behadapan dalam perdebatan tentang perumusan dasar negara
Indonesia. Kelompok pertama adalah mereka yang mengupayakan syariah Islam
sebagai dasar negara yang diwakili oleh Masyumi, dan kelompok Nasionalis yang
menginginkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
Perdebatan panjang mengenai dasar negara ini cukup wajar karena Indonesia yang
terdiri dari beribu pulau,suku,adat,budaya dan agama yang ber beda-beda. Bagi
yang mendukung Pancasila sebagai dasar
negara,Penetapan Pancasila sudah merupakan konsessus yang sesuai dengan
representasi seluruh rakyat indonesia.
Sebagai bagian dari
mayoritas komponen Bangsa, umat Islam pernah mengusulkan Indonesia menjadi negara Islam di
Majelis Konstituante. Sebagai orang yang merepresentasikan kelompok Islam di dalam sidang tersebut, Natsir mengatakan , “ dasar negara haruslah
sesuatu yang sudah mengakar di
masyarakat”. Relitas sejarah,menurut Natsir, membuktikan bahwa Islam sebagai agama yan dianut mayoritas rakyat Indonesia cukup mengakar di masyarakat . Islam , terangnya
,mempunyai sumber yang jelas yang
berasal dari wahyu.Tidak seperti Pancasila
yang mempunyai banyak tafsiran, tergantung pada pandangan filosofi
seseorang.
Tokoh lain yang
juga sebagai pendukung paradigma ini
adalah Sekarmaji Marijan Karto Suwiryo. Ia adalah Tokoh Kharismatik yang
mendirika Organisasi Darul Islam / Tentara Islam indonesia (DI / TII ) .
Orrganisasi DI / TII dilahirkan pada tanggal 7 agustus 1948,di Malang Bong,
Jawa Barat. Eksistensi lahirnya DI/TII
dipicu oleh antara pemerintah Indonesia dengan belanda pada perjanjian
Renville, 8 Januari 1948. Oleh kelompok Karto Suwiryo, perjanjian renville
dinilai merugikan bagi bangsa Indonesia.. Akhirnya kelompok Karto suwiryo
memisahkan diri dari Indonesia dan terus
berjuang melawan Belanda .
Alasan Karto Suwiryo
memisahkan diri dari Indonesia karena dia menilai, bahwa Pemerintah Indonesia telah berkompromi dengan
Belanda yang dinilai Kafir (Secular) .Lebih dari itu kekecewaan Karto
Suwiyo terhadap Pemerintah Indonesia juga dipicu oleh kekalahan Umat Islam saat
merumuskan dasar negara Indonesia dalam bentuk Pancasila . Dalam pandangan
Karto Suwiryo, Pancasila dianggap sebagai dasar negara yang sekuler dan tidak
berdasarkan pada prinsip Syariah Islam. Kelompok Pemerintah Indonesia dinilai Karto Suwiryo
juga sebagai Pemerintah yang sekular. Sementara
Karto Suwiryo mempunyai anggapan bahwa Pemerintah Indonesia harus
berdasarkan Syari`ah Islam. (Rubaidi,2008:121)
Tujuan akhir dari visi Karto Suwiyo adalah
terbentuknya Negara Islam
Indonesia ( NII ). Ia bermaksud menjadikan Islam sebagai ideologi dan Agama resmi negara, dengan
memproklamirkan berdirinya Negara Islam
Indonesia ( NII ). Pada akhirnya,
sejarah Indonesia telah mencatat dan
menempatkan Darul Islam /Tentara Islam
Indonesia (DI / TII) sebagai organisasi yang
terlarang dan dibubarkan oleh Pemerintahan Sukarno .
Fenomena kebangkitan Islam kembali
mencuat setelahkekuasan orde
baru Usai. Hal ini ditandai dengan
munculnya Organisasi Islam semacam FPI,MMI,Lasykar jihad dan lain sebagainya.
Mereka memperjuangkan kembali Piagam
jakarta menjadi bagian konstitusi di indonesia . Disamping organisasi –
organisasi tersebut juga muncul Hizbuttahrir,Organsasi yang mengusung tema
Khilafah Islamiyah yang menegakkan pemerintahan Khilafah. Fenomena
tersebut merupakan respon muslim tehadap sekularisasi barat dan dominasi
terhadap dunia Islam, disamping respon terhadap krisis kepemimpinan dikalangan umat Islam sendiri . Kontroversi usaha penerapan syariah Islam dalam konstitusi menyeret
pada kecenderungan untuk mempertentangkan antara ajaran Islam dengan
pancasila. Kontroversi diatas telah membentuk polarisasi yang dipandang sebagai hal yang bisa mengancam keutuhan
dan persatuan NKRI .
Hal ini mengingingat kan kita pada ultimatum Pendeta Oktavianus yang mengancam, Indonesia Wilayah timur yang
sebagai komunitas yang mayoritas beragama kristen akan memisahkan diri dari republik ini jika Piagam jakarta dimasukkan menjadi bagian
dari konstitusi Indonesia.
Di tengah arus pemikiran dan perjuangn
tentang perlunya Syariat Islam sebagai
dasar negara, terdapat beberapa Ormas keagamaan yang cukup besar justru tidak
mendukung, bahkan menolak Syariat Islam sebagai dasar negara.. Salah satu diantara
ormas Islam yang menolak itu adalah Nahdlatul Ulama. Sebagai bagian dari
komunitas Islam di Indonesia,Nahdlatul Ulama
tidak termasuk organisasi yang mendukung gagasan formalisai syariat Islam. NU sebagai Jam`iyah justru menolak
gagasan tersebut. NU sebagai Jamiyah tidak menginginkan berdirinya negara
Islam di Indonesia.
NU justru dengan sangat tegas
menyatakan bahwa NKRI,Pancasila dan UUD
1945 adalah bentuk final dari sistem
kebangsaan di Indonesia yang akan terus dipertahankan .
Nahdlatul Ulama
sebagai Jam’iyah diniyah adalah wadah bagi para Ulama dan pengikutnya,
didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M, dengan tujuan untuk
memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang
berhaluan Ahlussunnah wal jamaah dengan mengambil salah satu Madzhab empat,
masing-masing yaitu, Abu Hanifah, An-Nu’man Imam Maliki bin Anas, Imam Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta untuk memepersatukan
langkah para ulama dan pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang bertujuan
untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian
harkat dan martabat manusia. Dengan demikian NU merupakan gerakan keagamaan
yang bertujuan untuk ikut membangun serta mengembangkan insan dan masyarakat
yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram adil
dan sejahtera.
Ada dua faktor utama
yang menjadikan penyebab Ulama bangkit dan menghimpun kekuatan organisasi pada
tahun 1926, yaitu :
Pertama, Kemunculan NU secara langsung atau tidak berada
dalam situasi politik, dimana pergerakan menuju kemerdekaan sedang mulai
memuncak. Fenomena tersebut secara otomatis melahirkan sikap Nasionalis di
kalangan para Ulama pesantren untuk memperjuangkan kemerdekaan negara
Indonesia.Munculnya organisasi Nahdlatul
wathan( Kebangkitan Tanah Air),Syubbanul Wathan (Pemuda tanah Air)
sebagai bagian dari embrio berdirinya NU
merupakan ciri-ciri Nasionalisme yang
dimiliki NU.
Kedua, Kemunculan NU bisa dikatakan sebagai reaksi
terhadap gerakan pembaharuan yang berhembus dari timur tengah yang hanya menekankan otoritas Al-Qur’an dan Hadits
sebagai sumber pokok dari perilaku umat islam Di Indonesia gerakan pembaharuan
setidaknya muncul dalam dua wadah yaitu syarikat Islam dan Muhammadiyah.
Syarikat Islam adalah
awal dari gerakan Islam modern, Islam dalam bidang politik, dan Muhammadiyah
bergerak dalam bidang sosial dan dakwah, namun hal itu bukan beartii bahwa para
Ulama pendiri NU tidak mengenal pembaharuan.Bagi para Ulama NU memahami Islam
tidak mungkin hanya dari Al- Qur’an dan hadits saja, tetapi harus melalui
tradisi dan metode berfikir yang ditransmisikan oleh para ahlinya, dan ahlinya
adalah para Ulama.
Pendapat Ulama
tersebut sangatlah logis karena umat Islam yang terlahir jauh setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, jelas tidak bisa secara langsung bertemu dengan Nabi,
sedangkan proses perkembangan peradaban manusia lebih kompleks yang tidak bisa
begitu saja disamakan dengan ketika Islam pertama kali turun sebagai agama.
a. Paradigma Nahdlatul Ulama tentang
Hubungan Agama dan negara
Ada tiga
kategori paradigmatik untuk
menjelaskan bagaimana umat memaknai agama dan peran umat Islam di dalam kehidupan bernegraa
Pertama, Paradigma Integralistik Paradigma ini beranggapan bahwa segala urusan
agama juga urusan yang menjadi tanggung jawab negara,begitu juga sebaliknya apa
yang menjadi urusan agama juga termasuk urusan negara secara integral. Islam
huwa Al dinun Wal daulah ( Islam adalah urusan agama dan negara )Kelomopk
penganut paradigma ini menjadikan Islam sebagai dasar negara . dalam konteks
Indonesia, sebagian para penganut paradigma ini berpandangan bahwa Pancasila
merupakan “berhala” yang disembah sebagi
tuhan bagi penganutnya.
Kedua Paradigma Sekularistik.Paradigma ini berpandangan
bahwa persoalan-oersoaln negara tidak ada sangkut pautnya dengan negara, begitu
juga sebaliknya.Agama dalam perspektif ini tidak bisa dijadikan inspirasi aaun bagi negara.
Ketiga,Paradigma Simbiotik. Paradigma ini melihat dan
memposisikan agama dan negara bersifat
Simbiotik,yakni suatu hubungan timbal balik
yang saling memerlukan. Menurut kelompok ini dengan tegas bahwa Islam tidak mewajibkan berdirinya negara yang
berdasarkan Islam. Ini artinya, Islam hadir bukan di ruang sosial yang kosong
melainkan sudah terdapat peradaban yang datang sebelumnya.Islam juga hadir
untuk memilah dan memilih tradisi mana
yang yang diyakini bersesuaian dengan
ajaran Islam yang masih perlu
dipertahankan .
Dalam kontek
kenegaraan, NU juga mempunyai pandangan, bahwa hubungan agama dan negara
merupakan hubungan simbiotik. Paradigma NU ini mempunyai kandungan maksud bahwa
negara dan agama bisa saling membutuhkan agar terjadi saling pengertian demi
mencapai keamanan, persatuan bangsa
dalam ridho Allah SWT. Nahdlatul Ulama memandang bahwa Islam sebagai agama secara ideal memerankan fungsi sebagai
agama “Rahmatan lil alamin” .Inilah Univesalitas Islam.
Pandangan mengenai
universalitas Islam dalam kontek kenegaraan
yang ditawarkan oleh NU mempunyai tujuh prinsip.Ketujuh prinsip itu,
yaitu :
pertama, adalah asy-syura ( bermusyawarah ) .Artinya prinsip
Musyawarah merupakan prinsip yang diperintahkan Al qur`an dan karena itu merupakan prinsip etika
politik.
Kedua, prinsip al musawa ( kesamaan ),yaitu
persamaan hak derajat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan dalam
kehidupan bermasyarakat. Pada prinsip ini,manusia adalah sama.Yang berbeda atau
yang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak pada
ketinggian takwanya di hadapan Allah SWT.
Ketiga, adalah prinsip Al adalah , ( keadilan ) .keadilan
harus ditegakkan. tanpa diskriinasi ,penuh kejujuran,ketulusan dan integritas
yang tinggi .
Keempat adalah Al hurriyah ( kebebasan ) yang bearti menganut kebebasan . Kebebasan
yang hubungnyya dengan kehidupan masyarakat harus diatur dengan harus diatur oleh perundang-ndangan agar kebebasan seseorang tidak menggangu
kebebasan orang yang lain.
Kelima adalah Al
amanah ( kepercayaan ) .Dalam setiap
detak kehidupan,termasuk dalam konteks negara ,kepercayaan merupakan faktor
yang sangat penting karena kepercayan
merupakan amant dari rakyat yang
didalamnya terdapat kontrak sosial.
Keenam ialah prinsip Assalam ( perdamaian ) sebagaimana yang diungkapkan
dalam Alqur`an .
Ketujuh adalah Attasamuh ( toleran ) yaitu prinsip yang saling
menghormati antar sesama warga
masyarakat .Prinsip tasamukh
demikian didalam NU
diperkukuh dengan ciri ciri yang didalamnya terdapat sikap tawasut ( moderat ) dan tawazun ( menjaga
keseimbangan ).
Prinsip tasamuh ( toleran ) dan tawasuth ( moderat
) juga dipertunjukkan NU didalam
memaknai dan memempatkan budaya – budaya
lokal seperti budaya Jawa.Hal ini karena
kehadiran Islam sebagai agama itu
sendiri dalam pandangan NU
menyempurnakan peradaban dan tidak untk melenyapkan seperti tradsi-tradisi masyarakat .
Berangkat dari
paradigma Simbiotik dan pemahaman Islam rahmatal lil alamin sebagi bentuk
universalisai Islam inilah, kemudian menjadikan NU menerima Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Paradigma keagamaan NU yang inklusif dan toleran ini secara ideal akan mampu membentuk ketuluasan persaudaraan seagama(Ukhuwah
Islamiyyah) bahkan lain agama(Ukhuwah Basyariyah) dan kesetiaan
nasioanal (Ukhuwah Wathoniyah).
b.Pancasila dan NKRI dalam pandangan
Nahdlatul Ulama
Sebagaimana yang
telah tercatat dalam perjalanan sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama` yang
dilatar belakangi oleh faktor keagamaan dan faktor kebangsaan, NU berupaya
mempertahankan dan mengembangkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah
Waljamaah di Indonesia. Meskipun demikian NU
tidak mengidealkan bentuk negara Islam Indonesia. Nahdlatul Ulama
melalui wakilnya, KH.Abdul Wahid Hasyim dalam tim sembilan PPKI ikut merumuskan dan memutuskan Pancasila sebagai dasar negara republik
Indonesia. Disamping itu Nahdlatul Ulama juga menetapkan Presiden Sukarno
sebagai Waliyyul Amri Bil dloruri Assyaukah (pemegang urusan pemerintah
yang punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat dan rakyat).
Ketetapan yang diambil
Nahdlatul ulama tersebut bukanlah
sesuatu yang dengan mudah begitu saja ditetapkan,melainkan dengan jalan
pemikiran dan dialog yang intensif
dikalangan internal Ulama NU melalui
Bahtsul masail (Pembahasan masalah)
dengan merujuk kepada tradisi intelektual islam klasik Sikap dan
pemikiran NU untuk merespon segala macam perkembangan sosial dan dinamika
politik tentu saja tidak bisa dilepaskan dari ciri khas NU yang bersikap
Tawasuth ( moderat )dan tasamukh ( toleransi )
Dalam
perjalanan sejarahnya, NU pernah memasuki wilayah politik praktis,
meskipun NU tetap mempertahankan
ciri-ciri organisasi keagamaannya dalam merenspon dinamika politik waktu itu.
Namun identitas NU sebagai Jam’iyah seringkali kabur. Setelah berfusi dengan
PPP, NU larut ke dalam sikap politik dan sangat lemah dalam mengembangkan sikap sosial dan keagamaannya.
Kekaburan identitas
dan peran terjadi serentak dengan makin rendahnya peran Ulama dalam Organisasi.
Untuk itu, ketetapan untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, yang
selanjutnya disebut dengan Khittah NU 1926 adalah langkah yang tepat.
Bagi NU, Pancasila dipandang bukan sebagai
saingan agama apalagi menggantikan posisi agama,melainkan sebagai falsafah bangsa sedangkan agama merupakan wahyu yang
berasal dari Allah SWT. Secara substansial Sila Ketuhanan yang Maha Esa dan
sila – sila yang lain tidak bertentangan dengan ajaran Islam,bahkan kelima sila
tersebut merupakan bagian dari implementasi ajaran Islam kecuali memang jika
Pancasila ditafsirkan sebagai hal yang
bertentangan dengan pesan-pesan aqidah
secara fundamental.
Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai
asas tunggal dan dasar negara bukanlah merupakan akibat dari tekanan politik
dari pihak luar, dan sikap oportunis NU
dalam melihat realitas politik tetapi penerimaan yang positif karena Pancasila
dinilai sah berlandaskan dalil-dalil atau pendapat tradisional Islam.
Beberapa hal yang
mendasari NU menerima Pancasila sebagai dasar negara dan asas tunggal adalah
karena sikap para Ulama NU yang bersifat Tasamukh (toleran) dan tawasuth
(moderat) yang memandang bahwa
Pancasila diangkat dari nilai adat-istiadat,nilai-nilai
budaya Indonesia,serta nilai-nilai
religius yang terdapat dalam pandangan hidup
masyarakat Indonesia sejak sebelum membentuk negara.. Disamping
itu,faktor kerukunan dan saling menghormati antar komponen dalam negara
Indonesia merupakan hal yang lebih diutamakan dari pada sekedar memaksakan diri
membentuk Indonesia sebagai negara Islam. Pandangan ini sangat relevan dengan
kaidah Ushul Fiqhi yang akrab dalam idiom
“ Dar`ul Mafasid muqoddam `ala jalbil Mashalih “(Menghindari
kerusakan/kehancuran lebih diutamakan daripada
memperoleh kebaikan ).
Dalam konteks
Indonesia,NU memandang bahwa mengindari disintegrasi bangsa lebih dahulu
dihindari daripada memaksakan syariah
Islam dijadikan sebagai dasar negara.Hal ini selaras dengan pendapat Azyumardi Azra. Menurutnya,paham
keagamaan NU sama dengan paham yang dimiliki oleh masyarakat Aceh,Maluku dan
kalimantan.yaitu yang berorientasi pada tarekat dan dan lembaga-lembaga
tradisional.Melalui pendekatan sufistik,Ulama NU dapat menjalin dialog dengan
para ulama di Aceh,untuk membangun rekonsiliasi bangsa. NU yang bersifat
inklusif dan akomodatif akan sangat mudah melakukan pendekatan. Namun sayangnya
peran integratifnya itu belum dilakukan secara maksimal oleh NU.Lebih lanjut
Azyumardi Azra mengatakan,”memang NU telah berhasil menjalankan fungsi
integratifnya di Jawa,oleh karena itu,demi kepentingan bangsa,oreintasi NU yang
lebih condong ke Jawa harus dikembangkan ke luar Jawa” (Aula No10,Tahun 1999)
Hal diatas bisa
dibuktikan dalam diri NU jauh sebelum Indonesia merdeka,tepatnya Muktamar NU
pada tahun 1936 di Banjarmasin NU sudah
menetapakan bahwa tidak ada kewajiban
mendirikan negara Islam. Sepanjang Penduduk masih menaganut agama
Islam dan Umat Islam tidak dalam keadaan diganggu oleh pihak lain. Jawaban ini diambil dari
kitab klasik yang berjudul Bughyatul
mustarsyidin karya Syekh Hasan Al
hadhrami .
Disinilah keunggulan
tradisi NU yang memiliki kekayaan rujukan untuk menanggapi suatu perkembangan
dan tidak jatuh pada sikap mutlak-mutlakan. Penerimaan NU terhadap Pancasila
merupakan puncak dari sikap fleksibel dan adaptifnya dalam menghadapi
perkembangan politik.
Dengan paradigma
Subtansialnya, NU bertolak belakang dengan pandangan Sekular yang mensterilkan
peran agama kedalam kehidupan negara. Begitu sebaliknya NU juga tidak memandang
bahwa Indonesia bukanlah negara agama yang cenderung integral dari berbagai
aspek kehidupan kenegaraan. Berbeda
dengan dua pehaman keagamaan yang lainnya, NU mempunyai sintesis dari kedua
paradigma tersebut dengan memandang
bahwa negara memerlukan etika moral sebagaimana yang diajarkan oleh agama.
Sementara agama sendiri memerlukan kawalan negara untuk kelestarian
eksistensinya. Sering kali diucapkan, bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dengan
politik.Hal itu memang benar.Dan NU tidak memisahkan politik dengan agama
secara total seperti kelompok yang berparadigma sekular.Tetapi NU membedakan
mana bidang yang berguna ditanggapi dan mana yang tidak berguna untuk
ditanggapi. Politik bagi NU merupakan
salah satu Wasail ( upaya )
untuk memakmurkan Bangsa dan negara Indonesia yang penuh dengan ampunan
Allah SWT.(Baldatun Thoyyibatun warobbun Ghofur ).
Dalam konteks
Indonesia, lebih lanjut NU berpandangan bahwa Pancasila dan NKRI sebagai sistem
yang dijadikan dasar bagi negara dilihat sebagai hal yang tidak perlu
dipermasalahkan, mengingat dua hal, yaitu :
1.
Roh lima dasar
Pancasila itu sendiri bersesuaian dengan substansi ajaran agama .
2.
Penggunaan
Pancasila adalah karena untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia
yang pluralistik baik dalam hal suku maupun agama.
Keanekaragaman suku
dan agama yang terwadahi oleh NKRI ini diamanatkan oleh Allah untuk saling
mengenal, dan bukan untuk saling bercerai berai. Karena itu NU
merekomendasikan, NKRI yang didirikan oleh seluruh rakyat Indinoesia wajib dipertahankan eksistensinya. Sebagai
konsekwensinya pemerintah yang sah (
penguasa ) harus ditatati,selama tidak
menyimpang dari amanat rakyat yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan
Allah. Jika terdapat kesalahan dari Pemerintah,cara memperingatkan harus dengan
sebaik-baiknya.(Bil hikmah wal mauizdatil Hasanah)
Bagi NU, garis
politik kebangsaannya sudah jelas,bahwa
NU yang turut merumuskan Pancasila akan
tetap konsisten mempertahankan
Pancasila. Jika ada warga NU yang ikut merumuskan ideologi lain sebagai dasar
negara,maka secara moral sudah barang tentu
ia bukan saja berkhianat terhadap bangsa dan NU, tetapi juga berkhianat
terhadap KH.Abdul Wachid ( Putra
KH.Hasyim Asy`ari ) yang juga turut serta sebagai salah satu tim sembilan yang ikut merumuskan Pancasila sebagai dasar
negara .
Sedemikian pentingya
arti Pancasila dan NKRI dalam pandangan NU, sehingga Kiyai As`ad megambarkan NU
sebagai “ Tongkat Nabi Musa “ yang siap untuk diterjunkan guna melawan para penggugat Pancasila dan NKRI. Dalam kontek sosial, gambaran Kiyai As`ad
tersebut merupakan seruan bagi warga NU
wajib hukumnya mempertahankan Pancasila dan NKRI.
Penerimaan NU terhadap
Pancasila dan NKRI tidak bisa dipungkiri
sangat berharga bagi bangsa dan negara
Indonesia khususnya terciptanya iklim persatuan dan kesatuan diantara warga
negara. Menurut penulis tidak bisa dibayangkan jika sekian puluh juta warga NU
dan Ulamanya berupaya untuk menjadikan
Islam sebagai dasar negara di Indinesia bersama para komunitas lain yang ingin
menjadikan Islam sebagai dasar negara atau mengembalikan Piagam jakarta kedalam
pembukaan UUD 1945, khususnya di era reformasi yang penuh dengan keterbukaan
sekarang ini. Tentunya hal ini sangat membuat persatuan dan kesatuan NKRI rawan
untuk terpecah belah sehingga dengan sendirinya sangat merugikan bagi aktifitas
kehidupan masyarakat di setiap sektor kehidupan.
Penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas
tunggal yang ditetapkan dalam
Khittah NU 1926 bukan hanya berharga
bagi bangsa dan negara, lebih dari itu pandangan terhadap pancasila sebagai
asas tunggal juga bermanfaat bagi NU sendiri, seperti :
Pertama, NU dapat mengunakan segala potensinya untuk
membina kehidupan umat secara lebih sungguh-sungguh, karena selama NU menjadi
partai politik, NU telah larut dalam konflik baik secara intern maupun dengan
kelompok Islam lainnya.
Kedua, NU dapat kembali memulihkan peranan Ulama sebagai
penentu segala gerak langkahnya yang selama NU berada di PPP peranan Ulama hanya dijadikan sebagai pendorong “
mobil mogok” yakni sebagai kendaraan
politik elite partai saja.
Setelah kembali
menjadi Jam`iyyah diniyyah (Ormas
keagamaan), baru terasa bahwa NU kembali
kepada garisnya yang semula,kepada khittahnya. Terasa sekali selama ini ada
kesimpang siuran,ada kesemrawutan di dalam tubuh dan gerak NU. Banyak yang
berharap terutama kalangan sepuh serta generasi mudah,bahwa akan tumbuh udara
segar di dalam tubuh NU sehingga ada pembenahan dalam bergerak.
Saat itulah mulai
terdengar kalimat kembali kepada semangat 1926, kembali kepada khittah 1926 dan
lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut kian kencang. Apalagi fakta
menunjukkan sesudah politik ke dalam PPP, kondisi NU bukan bertambah baik,
justru kian semrawut dan terpuruk. (Muzadi,2007:44)
Di era reformasi ini,
NU kembali menyerukan kepada segenap
warga NU khusunya,dan Warga negara
Indonesia pada umumnya, bahwa peneguhan kembali komitmen NU terhadap eksistensi
Pancasila mutlak diperlukan. Hal ini karena era reformasi yang memang menghasilkan amandemen UUD 1945,
diakui telah banyak menyumbang kebebasan berpendapat,kebebasan aksi dan
demokrasi. Namun diakui pula bahwa
reformasi juga melahirkan masalah –masalah baru, maka wajar bila menurut
NU reformasi harus dievaluasi kembali.
NU juga memandang
bahwa otonomi khusus sama sekali tidak
boleh menjurus kearah disintegrasi
bangsa apalagi sampai ada pemisahan
kewilayahan atau separatisme dari NKRI, karenanya perjuangan menegakkan
agama dalam negara Pancasila tidak boleh menghadapkan agama dengan negara atau sebaliknya,tetapi dengan
meletakkan agama sebagai sumber inspirasi
serta menyumbang tata nilai moral
yang diproses melalui prinsip
demokrasi dan perlindungan
terhadap semua bangsa.
Keutuhan NKRI seringkali terancam dengan munculnya berbagai gerakan
separatisme diberbagai tempat di
Indonesia,misalnya adalah yang terjadi
di Aceh dan Papua.Untuk menaggapi hali ini para Kiyai NU mengadakan Bahtsul masa`il tentang gerakan separatisme. Dalam
konsep bughat menurut fikih,para Ulama NU menyimpulkan bahwa separatisme memang tidak dapat
dibenarkan .
Dalam perspektif
fiqih,gerakan separatisme menurut Ulama
NU,sering disebut sebagai Khurujul
anil Imam (membangkang terhadap penguasa).Bahkan dalam fikih gerakan
separatisme bisa dihadapi dengan
kekuatan senjata meskipun ada
syaratnya,yaitu yang pertama, bahwa gerakan separatisme itu telah diajak
berunding, namun ia tidak mau. Kedua, gerakan separatisme itu
menggunakan senjata dan mereka menyatakan penolakannya terhadap pemerintah maka
gerakan separatis itu bisa dihadapi dengan senjata,tetapi tetap menujunjug
tinggi etika perang bahwa tidak boleh merusak properti maupun menyakiti warga
negara,khususnya warga sipil,terutama perempuan dan anak-anak Itulah
prinsip-prinsip yang diatur oleh NU
dalam mepertahankan NKRI
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Paradigma Nahdlatul Ulama tentang hubungan Islam dan Negara
Paradigma Nahdlatul Ulama tentang hubungan
Islam dan negara bersifat simbiotik.Aplikasi
paradigma ini terletak pada pelaksanaan syariat Islam oleh warga
masyarakat, tidak untuk dilegal formalkan dala kehidupan kenegaraan. NU justru
memperjuangkan tegaknya tujuan umum syariat (maqashid al-syari’at)
seperti keadilan, kujujuran, toleransi, kemaslahatan umum, hak asasi manusia,
amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya
Kearifan untuk
beradaptasi dengan budaya yang dipegang
dan dikembangkan oleh NU merupakan sikap para pendirinya sebagai Ulama penganut
faham Ahlussnnah wal Jamaah. Dalam menjalankan dakwahnya, NU mengupayakan untuk
mengisi tradisi lokal di Indonesia, tentunya dengan muatan-muatan keislaman.
Menurut NU, upaya menumbuh kembangkan pemahaman ajaran Islam yang sesuai dengan
kondisi masyarakat merupakan langkah sekaligus sarana yang strategis dalam
mempertemukan keyakinan keagamaan dan wawasan kebangsaan (Nasionalisme) bagi
NU, model dakwah pribumisasi Islam walisongo terus akan dipertahankan. Dengan
demikian Paradigma NU tentang hubungan
antara Islam dan negara bersifat
Simbiotik, artinya negara membutuhkan agama sebagai bangunan moral dan
etika begitu juga agama membutuhkan negara sebagai pengawal untuk menjaga keberlangsungan
eksistensi agama.
2. Pandangan NU tentang Pancasila dan NKRI
Nahdlatul Ulama
sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tidak termasuk organisasi yang mendukung gagasan tentang
formalisasi Syariat Islam sebagai dasar negara. NU justru secara tegas menolak
gagasan tersebut. Dalam pandangan
Nahdlatul ulama`, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik
indonesia bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat mengganti kedudukan agama.
Nahdlatul Ulama juga
memandang bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik
Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD
1945,yang menjiwai sila –aila yang lain,mencerminkan Tauhid menurut keimanan
dalam Islam. NU sebagai Jam`iyah tidak
menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia. NU justru dengan tegas
menyatakan bahwa NKRI, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah bentuk final
dari sistem kebangsaan di Indonesia yang akan terus dipertahankan. NU
mengharapakan setiap persolan apapaun
yang terjadi di Indonesia jangan sampai berujung pada disintegrasi bangsa
apalagi sampai terjadi pemisahan kewilayahan dari NKRI. NU juga memperkuat
gerakan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Inilah praksis kebangsaan
yang dijalankan oleh NU yang menunjukkan tingginya nasionalisme yang dimliki
oleh kaum Nahdliyyin.
Dengan ketegasan sikap
dan keputusan yang telah diambil oleh NU dalam merespon merebaknya gerakan
formalisasi syariat Islam di Indonesia maka posisi dan peran NU dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara telah jelas. Untuk langkah berikutnya adalah NU perlu
melakukan sosalisasi kepada semua warga NU serta masyarakat luas mengenai
keputusannya menyangkut sikap dan pandangan NU tentang NKRI, Pancasila, dan UUD
1945 dalam sistem kebangsaan di Indonesia ditambah dengan gagasan-gagasan
moderatnya, baik secara internal maupun eksternal.
B. Saran-saran
Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin
memberikan saran-saran kepada peneliti selanjutnya dalam kaitannya dengan
Pancasila dan NKRI dalam pandangan NU.
- Hendaknya peneliti lebih memahami dan mengenal NU sebagai sosok organisasi keagamaan yang telah banyak memberikan konstribusinya terhadap bangsa dan negara, dengan membangun kembali kesadaran dan komitmennya terhadap NKRI sebagai sistem kenegaraan dan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.
- Sebagai upaya negara yang masih terus memerlukan pemikiran para tokoh intelektual,Ulama,sebaiknya mengadakan suatu penelitian tentang sejauhmana pengaruh NU dalam masyarakat untuk membentuk masyarakat yang religius dan nasionalis.
Akhirnya puji syukur
penulis haturkan kepada Allah Swt, yang jelas memberikan kesehatan lahir dan
batin, sehingga skripsi ini bisa diselesaikan, harapan penulis semoga skripsi
ini ada manfaatnya bagi para pembaca.
Skripsi ini jauh
dari kesempurnaan, maka saran dan kritik demi perbaikan sangat dibutuhkan unuk
penelitian selanjutnya.
Temmen t r
BalasHapuslebih dari sempurna gan .. (y)
BalasHapussiip kang
BalasHapusCasino Site - Lucky Club Live
BalasHapus› slots-casino luckyclub › slots-casino In addition to their casino, their sister casinos include popular slots such as Divine Fortune and Gonzo's Quest, there are also several others that cater to